TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Selasa dini hari (4/4), politikus Oesman Sapta Odang (OSO) resmi menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam pemilihan yang dilangsungkan secara aklamasi.
Selain OSO, Wakil Ketua DPD RI juga diisi oleh Nono Sampono yang berasal dari wilayah DPD Timur. Nono menggantikan Farouk Muhammad. Sedangkan DPD wilayah Barat terpilih Darmayanti Lubis yang menggantikan Ratu Hemas.
"Perbedaan pendapat antara kubu ke kubu sudahlah. Jangan lagi dijadikan polemik dalam pemberitaan. Merugikan anak-anak bangsa. Memang ada kejadian-kejadian kurang menarik, tapi itulah pembelajaran, itulah romantika yang terjadi. Di dalam pengambilan keputusan yang perbedaan pendapat tidak bisa dituangkan dalam suasana yang dingin," ujar OSO.
Kericuhan terjadi lantaran sesama anggota senator ini memaknai berbeda putusan Mahkamah Agung (MA).
Pertimbangan MA
Bahwa terkait dengan masa jabatan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia telah ditetapkan menjadi 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sebagaimana diatur oleh Pasal 47 ayat (2) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tanggal 21 Februari 2017 Tentang Tata Tertib; - Bahwa masa Jabatan pimpinan MPR dan DPR secara eksplisit diatur pada Pasal 24 Jo Pasal 8 ayat (2) Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib yaitu masa jabatan Pimpinan MPR sama dengan masa jabatan keanggotaan MPR adalah 5 (lima) tahun.
Sedangkan untuk Pimpinan DPR diatur pada Pasal 27 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, yaitu masa Jabatan Pimpinan DPR sama dengan masa keanggotaan DPR adalah 5 (lima) tahun.
Dipandang dari karakteristiknya, DPD berada di dalam satu rumpun dengan MPR dan DPR, yaitu sebagai Lembaga Perwakilan, sebagaimana diatur pada UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014.
- Bahwa pada hakikatnya pengabdian setiap negarawan, termasuk anggota DPD, pada tingkat tertinggi adalah kepada bangsa dan negara. Anggota DPD yang terpilih menjadi pimpinan DPD, memimpin lembaga yang tugas utamanya adalah menyerap dan mengartikulasikan aspirasi daerah, sehingga dengan jabatan tersebut saluran aspirasi dari daerah dapat terwakili dalam proses pengambilan keputusan nasional. Namun demikian, tidak seperti MPR/DPR, DPD tidak dicalonkan melalui Partai Politik.
Oleh sebab itu, tidak terdapat pengelompokan kekuatan politik didalamnya.
Menjadi pimpinan lembaga bukanlah untuk mewakili kelompok tertentu, melainkan untuk institusi DPD itu sendiri, sehingga tidak sepatutnya apabila jabatan pimpinan DPD tersebut dipergilirkan yang dapat menimbulkan kesan berbagi kekuasaan; - Bahwa Lampiran II Huruf C5, nomor 155 Ketentuan Peralihan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan, pada dasarnya mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya, dengan demikian Lampiran II Huruf C5, nomor 155 Ketentuan Peralihan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut menegaskan tentang larangan asas non retroaktif.
Hal tersebut selaras dengan kaidah normatif yang termuat di dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, yang secara tegas menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun;
- Dengan demikian ketentuan Pasal 47 ayat (2) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tanggal 21 Februari 2017 Tentang Tata Tertib tersebut telah melanggar Lampiran II Huruf C5, nomor 155 Ketentuan Peralihan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang
Mengadili;
1. Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: Ir. Anang Prihantoro, Marhany Victor Poly Pua, Djasarmen Purba, S.H., Drs. H.M. Sofwat Hadi, S.H., Denty Eka Widi Pratiwi, S.E.,M.H. dan Anna Latuconsina tersebut;
2. Menyatakan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tanggal 21 Februari 2017 tentang Tata Tertib bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan karenanya tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencabut Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tanggal 21 Februari 2017 tentang Tata Tertib;
4. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Sekretaris Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara;
5. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (Sumber Pakar Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin)
Salah Ketik
putusan itu terdapat kesalahan fatal di amar putusan. Dalam perkara Nomor 20 P HUM/2017 terdapat kesalahan di amar Nomor 3 yang berbunyi:Memerintahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencabut Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tanggal 21 Februari 2017 tentang Tata Tertib.
Adapun kesalahan di Perkara Nomor 38 P/HUM/2016, terdapat 'kesalahan' pengetikan yaitu amar: Memerintahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencabut Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tanggal 10 Oktober 2016 tentang Tata Tertib.
Salah ketik kemudian diprotes anggota DPD Nono Sampono, yang menyebut putusan itu salah subjek dan objek hukum.
"Salah objek dan subjek hukum. Kalau kita bacakan setebal ini, isinya tuntutan pemohon 95 persen copy-paste, MA mengikuti isi tuntutan dari pengacara atas nama pemohon, titik koma garis miring lengkap (ditiru). Kalau memang iya, ini kriminal. Akan kami laporkan ke Bareskrim," ujar Nono dalam diskusi publik Perspektif Indonesia bertajuk 'DPD Pasca Putusan MA', Sabtu (1/4) lalu. (tribun)