Yusril mengatakan MA secara sengaja membuat dirinya sendiri menjadi kurang berwibawa dalam melakukan uji materil sebagaimana MK. Yusril sudah mengingatkan Ketua MA M Hatta Ali, tidak lama setelah beliau diilantik menjadi Ketua, akan kelemahan Peraturan MA tentang uji materil itu.
Yusril meminta Hatta untuk segera memperbaikinya demi meningkatkan kewibawaan MA. "Namun sampai hari ini, perbaikan belum juga dilakukan. Saya katakan kepada Dr Hatta Ali bahwa arsitek penyusunan peraturan MA tentang uji materil itu adalah mendiang Prof Dr Paulus Effendi Lotulung yang waktu itu menjadi Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara," kata Yusril.
Prof Lotulung seorang Guru Besar Hukum Administrasi Negara dan berkarir sebagai hakim Tata Usaha Negara (TUN). Karena itu, Yusril tidak heran jika Peraturan Hak Uji Materil MA nampak bergaya hukum acara peradilan TUN. Padahal, hakikat kewenangan MA dalam menguji peraturan, sangatlah berbeda dengan kewenangannya mengadili sengketa tata usaha negara.
"Kalau MA sudah menyatakan batal suatu peraturan perundang-undangan, maka putusan itu seharusnya berlaku serta-merta dan tidak memerlukan eksekusi dalam bentuk pencabutan oleh institusi yang membuatnya," kata Yusril.
Menurut Yusril, kelemahan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2012 itulah yang menjadi faktor utama yang menyebabkan kisruh di DPD. Yusril melihat GKR Hemas dan Farouk Muhammad mengira, Putusan MK tanggal 29 Maret 2017 yang membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur masa jabatan Pimpinan DPD hanya 2,5 tahun berlaku serta merta.
Padahal peraturan itu masih tetap berlaku sebelum dicabut oleh Pimpinan DPD atau belum lewat waktu 90 hari sejak putusan dibacakan oleh MA.
Keadaan seperti di atas dimanfaatkan Oesman Sapta Odang (OSO) dan para pendukungnya. Pimpinan DPD yang mana yang bisa mengeksekusi putusan MA yang membatalkan Peraturan Tatib itu.
"Sementara pimpinan yang ada, yakni dua wakil ketua masing-masing GKR Hemas dan Prof Farouk -- sementara Ketuanya Muhammad Saleh tidak hadir karena sedang umroh maka masa jabatan 2,5 tahunnya sudah habis sejak tanggal 1 April 2017. Pendukung OSO mengatakan bahwa GKR Hemas dan Prof Farouk tidak sah memimpin sidang DPD karena jabatannya sudah kadaluarsa," kata Yusril.
OSO, kata Yusril, juga memanfaatkan kelemahan administrasi putusan MA yakni salah ketik dalan diktum putusannya yang membatalkan Peraturan Tatib DPD itu. Amar putusannya bukannya memerintahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) untuk mencabut Peraturan Tatib yang dibatalkan itu, melainkan ditulis "memerintahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah" (DPD) untuk mencabut Peraturan Tatib DPD yang dinyatakan batal oleh MA itu.
"OSO bilang, mana bisa Pimpinan DPRD mencabut Peraturan Tata Tertib DPD. Walau terdengar lucu, omongan OSO ini benar. MA telah salah dalam membuat putusan, dan kesalahan seperti itu dalam sebuah putusan yang telah dibacakan dalam sidang yg terbuka untuk umum dan telah pula dimuat dalam website MA, tidaklah dapat dikoreksi begitu saja dengan mengatakannya sebagai salah ketik belaka," ujar Yusril.
Kalau MA menulis salah nama orang yang dijatuhi pidana dalam perkara tingkat kasasi,lanjut Yusril, maka untuk memperbaikinya tidak bisa diralat begitu saja, melainkan harus melalui putusan Peninjauan Kembali (PK), atau putusan itu menjadi "non executable" yakni putusan yang tidak dapat dieksekusi.
"Nah, masalahnya Putusan MK yang membatalkan Peraturan Tata Tertib DPD itu adalah putusan yang "final and binding" artinya putusan terakhir yang tidak ada upaya hukum lagi, termasuk Peninjauan Kembali," kata Yusril.
"Kini kembali kepada persoalan utama dalan tulisan ini, apakah sah pemilihan OSO, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis sebagai Pimpinan DPD yang baru untuk jabatan 2,5 tahun ke depan? Apakah sah sidang DPD yg memilih mereka yang dipimpin AM Fatwa sebagai anggota tertua dan apakah sah Wakil Ketua Mahkamah Agung Suwardi yang memandu pengucapan sumpah mereka sebagai Pimpinan DPD?" tambahnya.
Yusril menegaskan semua itu adalah sah. Ia mengatakan memang Peraturan Tata Tertib itu sudah dibatalkan MA, tetapi peraturan itu masih tetap berlaku sebelum dieksekusi, dalam makna belum dicabut oleh Pimpinan DPD atau belum lewat waktu 90 hari sejak putusan dibacakan.