TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyebaran paham radikal terorisme tidak hanya menyasar kaum laki-laki dan generasi muda, tetapi juga telah menjadikan kaum perempuan sasaran propaganda mereka.
Karena itu, perempuan Indonesia harus bersatu, bangkit, dan melek teknologi untuk membendung ancaman radikalisme dan terorisme.
"Penyebaran paham radikal terorisme di kalangan perempuan sudah sangat lumayan butuh perhatian. Artinya, bila kita ingin Indonesia aman dan tenteram, kaum perempuan pun harus ikut bergerak, bersatu, dan bekerja keras dalam memerangi paham negatif tersebut," ungkap Ketua Fatayat NU, Anggia Ermarini, Selasa (18/4/2017).
Menurut Anggia, ada banyak cara yang bisa dilakukan kaum perempuan dalam memerangi radikalisme dan terorisme.
Pertama, seorang perempuan adalah seorang ibu yang merupakan orang pertama yang bisa menanamkan nilai-nilai agama Islam yang sebenarnya yaitu islam yang ramah, islam yang rahmat bagi semua, serta nilai kebangsaan kepada anak-anaknya, sejak dini.
Dengan memiliki pemahaman agama dan kebangsaan yang benar sejak kecil, otomatis seorang anak akan lebih kebal dalam menghadapi penyebaran paham radikal terorisme.
"Makanya Fatayat NU sedang mengembangkan dakwah berbasis keluarga. Kami juga terus membekali dan memperdalam para dai-dai wanita tentang pengetahuan dan ancaman radikalisme terorisme dan bertepatan dengan Hari Kartini, 21 April besok, kami akan melantik 1000 daiyah Anti Radikalisme Fatayat NU di Bandung," papar Anggi.
Anggia menegaskan, langkah itu dilakukukan sebagai perwujudan kaum perempuan terutama Fatayat NU dalam membantu pemerintah dalam pencegahan radikalisme dan terorisme.
Apalagi faktanya, akhir-akhir ini kalangan terorisme menjadikan kaum perempuan sebagai 'martil' atau 'pengantin' untuk melakukan aksi terorisme.
Kondisi ini sangat memprihatinkan dan butuh perhatian besar dalam mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Contoh perempuan yang jadi martil terorisme adalah kasus bom Panci di Bekasi dengan tersangka Dian Yulia Novi. Kemudian juga ada TKI yang dipulangkan dari Taiwan karena terindikasi dengan ISIS.
"Inilah yang membuat perempuan Indonesia tidak boleh berdiam diri. Ada banyak hal yang bisa dilakukan kaum perempuan untuk berperan aktif dalam pencegahan terorisme seperti mengambil peran besar dalam mengedukasi masyarakat dari ancaman terorisme," ungkap Anggia.
Fatayat NU sendiri telah memiliki jamaah ribuan yang tersebar dari desa sampai kota. Dengan jumlah anggota itu, Anggia optimistis Fatayat NU bisa memberikan kontribusi positif dengan memberikan edukasi yang signifikan di tengah lingkungan atau komunitasnya masing-masing.
Selain itu, mereka juga dibekali keterampilan tentang cara-cara mendeteksi bila ada gerakan-gerakan berbau radikalisme dan terorisme di masyarakat.
Anggia melanjutkan, deteksi di lingkungan dan komunitas masing-masing itu bisa dijalankan kader-kader Fatayat NU yang berada di grassroot. Kalau itu berjalan baik, ia yakin pencegahan radikalisme dan terorisme bisa lebih efektif.
"Selama ini, bila ada gerakan di RT/RW masing-masing, atau ada yang ingin mengganti azas negara menjadi daulah, kita belum punya keterampilan untuk meresponnya. Nantinya dengan adanya daiyah anti radikalisme itu, hal-hal semacam ini akan lebih mudah diantisipasi," tuturnya.
Selain itu, Anggia juga mengajak para kaum perempuan untuk tidak gagap teknologi (gaptek). Pasalnya, saat ini dunia komunikasi melalui internet (dunia maya) menjadi sasaran penyebaran radikalisme dan terorisme. Karena itu kaum perempuan tidak anti menggunakan media sosial (medsos).
"Mau tidak mau, kaum ibu harus ikut gaul menggunakan medsos, paling tidak memantau anak-anak kita saat menggunakan gagdet," jelas Anggia.