TRIBUNNEWS.COM - Seorang petani di Desa Jambu, Kecamatan Wanareja, Cilacap, Jawa Tengah, Sudjana ditangkap lantaran dituduh melakukan penebangan liar di lahan Perhutani.
Padahal, Sudjana yakin betul tanah seluas 4,1 hektar miliknya merupakan warisan keluarga berpuluh tahun lalu.
Lantas bagaimana kisah konflik Sudjana dan Perhutani? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga Produksi Kantor Berita Radio (KBR).
“Itu adalah tanah warisan ya. Yang namanya Bapaknya Pak Sudjana itu kan meninggal tahun 1982. Meninggalnya itu sesuai dengan surat keterangan kematiannya ya. Nah, karena Pak Sudjana itu anak kandung, secara otomatis, kalau di sini itu turun kepada ahli waris. Kan seperti itu ya. Semua ada keterangan kepala desa di situ,” jelas Ralim.
Dengan penuh keyakinan, Ralim menuturkan asal muasal tanah milik Arinta Senggal orangtua Sudjana, yang belakangan diklaim Perhutani.
Tanah itu sendiri seluas 4,1 hektar dan terletak di Persil 171/Blok I Gombong Desa Jambu, Kecamatan Wanareja, Cilacap, Jawa Tengah.
Memperkuat kesahihan tanah itu, Atwa Sarip, kemenakan Sudjana juga bercerita, tanah tersebut sudah digarap Arintal berpuluh tahun lampau.
Dan memang, lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan hutan milik Perhutani. Dengan patok beton setinggi satu meter sebagai pembatas.
“Yang membuat batas itu Perhutani. Dan tapal batas itu, setahu saya, sejak zaman Belanda mungkin ya. Karena setahu saya sejak kecil, tapal batas sejak zaman Belanda mungkin ya, bentuknya ya seperti itu. Karena sejak zaman dulu, bentuk patoknya ya seperti itu, ada yang jaraknya 100 meter, ada juga yang 50 meter,” jelas salah satu kemenakan Sudjana, Atwa Sarip.
Dan sebagai bukti, keluarga Sudjana mengantongi bukti Surat Pembayaran Pajak Terhutang (SPPT) lahan seluas 4,1 hektar yang terdiri dari tiga bidang.
Dua atas nama Sudjana dan satu atas nama adiknya Karsita.
Tak hanya itu, bukti lainnya berupa Letter C dan surat keterangan kepala desa yang menyatakan bahwa tanah tersebut milik keluarga Sudjana.Tapi, semua itu tak dianggap Perhutani.
Jika menilik asal muasal lahan sengketa itu, sesungguhnya Arinta Senggal, orangtua Sudjana, selama bertahun-tahun sudah menggarap lahan seluas 4,1 hektar itu.
Kira-kira tahun 1979, digelar lah program penanaman massal pohon pinus di kawasan hutan Perhutani.Ralim juru bicara keluarga Sudjana, bercerita ketika program selesai, bibit pinus banyak tersisa.
Lantas, seorang mandor Perhutani menawarkan kepada Arinta agar menanam pinus di lahannya. Arinta yang berkawan baik dengan si mandor, percaya saja bahwa pemberian bibit pinus itu takkan jadi masalah di kemudian hari.
Dan, Arinta pula yang kelak berhak menyadap pinus hingga anak cucunya. Ralim juga mengatakan, pinus menjadi tanaman jenis baru yang dikenal masyarakat Desa Jambu. Sehingga mereka pun tergiur menyadap pinus.
“Yang menanam pinus itu siapa? Pak Arinta Senggal, orang tua Pak Sudjana. Itu dalam surat keterangan Kepala Desa itu dijelaskan, yang tahun 2011. Itu kan jelas di situ. Lembar kedua, ada silsilah tanah, Pak Arinta Senggal dan adiknya,” kata Ralim.
Hingga waktu bergulir. Pinus mulai disadap ketika Arinta sudah meninggal. Sementara anaknya, Sudjana, kala itu tak terpikir untuk melanjutkan profesi sang ayah menjadi petani.
Sudjana muda, memilih menjadi mantri kesehatan dan melayani tiga desa sekitar; Jambu, Cigintung, dan Palugon.
Ia pun cukup ditokohkan di Desa Jambu. Berbagai jabatan tingkat desa pun pernah diemban.
Sampai pada 2009-an, Sudjana, berniat mengelola lahan warisan ayahnya. Dia lalu mengajukan pengukuran pada pemerintah desa untuk penerbitan Surat Pembayaran Pajak Terhutang (SPPT).
Kemudian pada 2015, Sudjana mengajukan pensertifikatan lahan seluas 4,1 hektar miliknya.
Akan tetapi, upaya itu menemui jalan buntu. Sebab saat pengukuran di lapangan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), diprotes Perhutani.
Sudjana lantas berkirim surat ke para pimpinan daerah; bupati hingga gubernur, yang ditembuskan ke DPRD.
Tetapi hasilnya, nihil. Dia lalu meminta kejelasan tanah tersebut ke Biro Perencanaan Sumber Daya Hutan dan Perusahaan (Biroren) Divisi Regional Jawa.
Dalam salinan surat dari Biroren kepada Sudjana, dijelaskan telah terjadi proses tukar menukar kawasan hutan.
“Makanya kan kita ajukan permohonan surat pembuktian legalitas tukar-menukar. Ke sana saya. Muncullah jawaban pada tanggal 23 Februari 2017 tersebut. Dalam surat tersebut, tidak ada nama Arinta Senggal. Bahkan, tukar menukar itu terjadi di Panulisan Kecamatan Dayeuhluhur,” jelas Ralim lagi.
Akan tetapi, perwakilan Perhutani, Heru Nur Afandi, bersikukuh jika tanah Sudjana, miliknya.
Perhutani pun, kata dia, punya bukti tukar guling. Lagi pula, saat tukar guling, Perhutani mengaku tak menemukan nama Arinta sebagai salah satu pemilik. Ditambah, lahan tersebut ditumbuhi pinus.
Dia juga mengatakan, tukar guling itu diwakili Tawiredja warga Desa Panulisan, Dayeuhluhur.
Tawiredja mewakili 127 orang yang memiliki lahan di Desa Jambu seluas 11,2 hektar dengan rincian persil 141, 143, 144, dan 171.
Hasilnya warga mendapatkan tanah Perhutani seluas 5,6 hektar di Desa Cikiangkir, Desa Panulisan.
Dan, untuk membuktikannya, Perhutani siap jika persoalan tersebut dibawa ke pengadilan.
“Tindakan pidana maupun perdata terus terang saya tidak terlalu paham. Cuma nanti, kalau nanti akan mengajukan dari segi pidana maupun perdata pun, kami Insyaallah akan mempersiapkan orang-orang yang lebih berkompeten. Misalnya, dalam proses tukar menukar. Ya mungkin, bukannya pelaku tukar menukar saat itu. Tetapi akan kami datangkan yang lebih berkompeten, misalnya dari Biro Perencanaan Salatiga. Mungkin seperti itu lho, Pak,” ujar Heri.
Namun, berdasarkan keterangan Sudjana, keluarga, dan saksi-saksi, tak pernah terjadi penandatanganan tukar guling.
“Karena pada prinsipnya kalau kemudian ada surat perjanjian, kami sebagai kuasa hukum, tidak pernah mendapat informasi menurut keterangan klien, bahwa pernah terjadi tukar guling, baik Pak Sudjana maupun orang tuanya dengan Kementerian Kehutanan. Yang dalam hal ini diwakili oleh BPKH. Karena dalam hal ini, Perhutani tentu saja tidak punya kewenangan untuk melakukan tukar menukar. Karena dalam PP 72 tahun 2010, Perhutani hanya diberi kewenangan untuk pengelolaan,” terang anggota Tim Kuasa Hukum Sudjana Apri.
Apri juga menjelaskan, saat ini tim kuasa hukum dan sejumlah aktivis reforma agraria tengah memperkuat bukti-bukti lapangan dengan melakukan observasi dan wawancara mendalam terhadap saksi hidup.
Itu diperlukan untuk memperkuat bukti berupa dokumen yang sudah dimiliki Sudjana.
Penulis : Muhamad Ridlo/ Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)