TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi mengatakan, kekalahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta putaran kedua, menjadi sinyal bagi PDI Perjuangan untuk mengevaluasi strategi mereka dalam menghadapi pilkada serentak 2018.
Terlebih, kata dia, bukan Ahok saja, Rano Karno yang juga merupakan kandidat petahana di Pilkada Banten yang diusung PDI Perjuangan juga menelan pil kekalahan.
“Kekalahan ini menunjukkan semacam penurunan dukungan dari publik terhadap PDI Perjuangan atau rezim sekarang,” kata Airlangga saat dihubungi, Kamis (20/4/2017).
Menurut dia, pilkada serentak 2018 merupakan momentum penting untuk menghadapi Pemilu Presiden 2019. Pasalnya, ada tiga provinsi besar yang akan berkontestasi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, danJawa Barat.
Salah satu isu penting yang harus diperhatikan PDI Perjuangan yakni terkait kasus dugaan penistaan agama. Meski kasus ini terkait Ahoksecara individu, namun kasus itu berimbas pada PDI-P yang mendukung Ahok.
Kader PDI Perjuangan harus turun ke bawah sejak dini dan merangkul kelompok keagamaan besar, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dalam menyosialisasikan kandidat kepala daerah yang akan mereka usung.
“Komunitas masjid, jejaring di RT/RW itu lebih dikapitalisasi. Kerja partai di tingkat basis itu masih kurang kuat,” kata dia.
Di samping itu, ia mengatakan, kader PDI Perjuangan juga perlu memperhatikan aspirasi masyarakat lebih detil. Pasalnya, sejauh ini konsesi yang dibangun PDI Perjuangan baru sebatas di tingkat elit.
“Ketika ada persoalan, misalnya contoh, ada persolan (petani) Kendeng, yang tidak dilakukan adalah pendekatan persuasif,” ujarnya.