TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) mengkritik penggunaan hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketua Iluni FHUI Ahmad Fikri Assegaf menegaskan angket KPK oleh DPR, sangatlah tidak proporsional dan dapat membahayakan momentum pemberantasan korupsi di Indonesia.
ILUNI FHUI memandang bahwa selain proses pengambilan keputusannya yang tidak transparan, pengajuan hak angket tersebut didasarkan pemahaman yang keliru terhadap Pasal 20 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK).
Dijelaskan dalam naskah hak angket yang beredar di masyarakat, DPR bagian Pendahuluan tertulis: “…, Pasal 20 ayat (1) UU KPK menetapkan pertanggungjawaban publik KPK, yakni ditujukan kepada Presiden RI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI)”.
Padahal bunyi sesungguhnya dari Pasal 20 ayat (1) UU KPK adalah: “Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan”.
ILUNI FHUI berpandangan bahwa kekeliruan kutipan Pasal 20 ayat (1) UU KPK tersebut dapat membawa kepada kesimpulan yang salah yaitu seakan-akan KPK bertanggung jawab kepada DPR, Presiden dan BPK.
"Padahal, sesungguhnya pertanggungjawaban KPK adalah kepada publik," tegasnya dalam keterangan tertulisnya kepada Tribunnews.com, Rabu (3/5/2017).
Hubungan dengan DPR, Presiden dan BPK adalah dalam konteks pemberian laporan.
ILUNI FHUI memahami bahwa hak angket adalah kewenangan konstitusional Dewan yang penggunaannya sudah secara spesifik ditentukan oleh UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3, disebutkan hak angket bertujuan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
"Mengingat UU KPK secara jelas menyatakan bahwa pertanggungjawaban KPK adalah kepada publik bukan DPR, secara substansi hak angket DPR atas KPK patut dipertanyakan," tegasnya.
Rapat Paripuna DPR pada Jumat (28/4/2017) lalu menyetujui penggunaan hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Awalnya, wacana angket ini bergulir setelah mantan anggota Komisi II DPR, Miryam S Haryani, kepada penyidik KPK mengaku ditekan sejumlah anggota Komisi III terkait kasus e-KTP.
Pernyataan ini ditariknya saat diperiksa di persidangan.
Sejumlah anggota Komisi III mendesak KPK untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam. Hal ini yang akan diungkap dalam kerja Pansus hak angket KPK.