TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik Ray Rangkuti menilai presidential treshold tidak perlu ada ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) pada Pilpres 2019 mendatang.
"Presidential treshold tidak dibutuhkan karena tidak menjawab masalah-masalah faktual kepemiluan dan politik kita," ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia ini kepada Tribunnews.com, Rabu (3/5/2017).
Sekaligus presidential threshold itu, lanjut Ray Rangkuti, tidak relevan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pilpres dilaksanakan secara serentak.
Ada beberapa kesulitan tekhnis dan ideal menetapkan presidential treshold dengan sistem pemilu serentak.
Antara lain soal acuan presidential threshold yang akan ditetapkan.
Jika acuannya pada hasil pemilu sebelumnya, tegas dia, maka di sinilah ketidak-relevanan itu terjadi.
Kekhawatiran akan munculnya banyak calon juga kurang tepat.
Karena berkaca dari pelaksanaan pilkada, pengajuan pasangan calon kepala daerah waktu demi waktu makin berkurang.
"Artinya, seiring dengan waktu, euforia pencalonan pasangan capres dan cawapres akan berkurang pada masa yang akan datang," katanya.
Sejauh ini kata Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu Lukman Edy, mayoritas fraksi di Panja RUU Pemilu menghendaki Pemilu 2019 tanpa ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Lukman menyebutkan, hanya tiga partai yang menolak tak adanya ambang batas pencapresan yaitu Partai Golkar, PDI Perjuangan, dan Partai Nasdem.
Ketiga partai ini menghendaki presidential threshold sama seperti pemilu sebelumnya, yakni 20-25 persen.
"Adanya presidential threshold dianggap bertentangan dengan keputusan MK (soal pilkada serentak)," kata Lukman, melalui keterangan tertulis, Selasa (2/5/2017).
Adapun putusan yang dimaksud adalah putusan Nomor No 14/PUU-XI/2013 tentang Pemilu Serentak.
Jika Pansus sepakat tanpa presidential threshold, maka semua partai politik peserta pemilu boleh mengusung calon presiden dan calon wakil presiden, baik oleh satu partai maupun gabungan partai politik.