Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Dirjen PPTR) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN), Jonahar mengatakan, beragam tantangan dihadapi pihaknya dalam mewujudkan tertib tanah dan ruang di era kemudahan berusaha.
Misalnya, terdapat ketimpangan penguasaan tanah atau gini ratio di Indonesia mencapai 0,48 persen.
“Ini berarti 1 persen penduduk menguasai 48 persen tanah di Indonesia dan hal ini menjadi ancaman bagi keadilan sosial dan ekonomi," kata Jonahar dalam acara Webinar Nasional yang mengusung tema Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Era Kemudahan Berusaha di Jakarta belum lama ini.
Selain itu, kata dia, dari total 19.594 bidang tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang aktif, ditemukan 1.612 bidang dengan luas lebih dari 2,2 juta hektare tidak sesuai dengan peruntukkannya atau terindikasi terjadi pelanggaran.
Jonahar menandaskan, Ditjen PPTR mengambil langkah tahapan inventarisasi tanah terindikasi terlantar.
Untuk itu mereka akan mengajukan revisi Tahapan Penertiban Tanah Terlantar dengan Evaluasi dan Pemberitahuan yang sebelumnya 555 hari dengan rincian Pemberian Peringatan I (90 hari), Peringatan II (45 hari), dan Peringatan III (30 hari) dan Usulan Penetapan 30 hari menjadi total 240 hari saja.
Kemudian pemberian Peringatan I (30 Hari), Peringatan II (30 Hari), dan Peringatan III (30 hari), dan Usulan Penetapan (30 Hari). Selanjutnya, dilakukan Penetapan Tanah Terlantar dan Penetapan Peruntukan Pendayagunaan Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN).
Baca juga: Pemerintah Diminta Kaji Ulang Implementasi PPN 12 Persen, Produsen Makanan dan Minuman Usulkan Ini
Jonahar menambahkan, dari hasil 2 tahun sejak diterbitkan status hukum pertanahan di Indonesia, seperti Hak Atas Tanah (HAT), Hak Pengelolaan Lahan (HPL), Dasar Pemanfaatan Aset Tanah (DPAT) hingga tahun 2024, sebanyak 33.654,01 hektare tanah terlantar telah dinventarisasi dengan rincian 11.257,44 hektare dialokasikan untuk Reforma Agraria; untuk Bank Tanah seluas 15.976,81 hektare; lahan seluas 721,09 hektare untuk Program Strategis Nasional; dan 4.637,29 hektare untuk Cadangan Negara Lainnya.
"Terkait laju alih fungsi lahan sawah mencapai 100.000-150.000 hektare per tahun, maka Dirjen PPTR menargetkan penyelesaian peta Lahan Sawah Dilindungi (LSD) di 12 Provinsi hingga akhir 2024 untuk menjaga ketahanan pangan," katanya.
Diakui Jonahar, permasalahan HGU sebesar 92 persen, KKPR sebanyak 90 persen, dan 99 persen PMP-UMK belum dilakukan penilaian, dan terdapat indikasi pelanggaran tata ruang yang masih belum ditindaklanjuti sebesar 49 persen.
Jonahar menegaskan pihaknya akan mengambil langkah strategis dengan menerapkan Strategi Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang dengan ‘5M’ (Man, Money, Method, Material, dan Membangun Kolaborasi) dan mengaplikasikan Strategi Pengendalian dan Pemanfaatan Ruang di awal, tengah dan akhir.
"Diawali dengan dengan pemantauan segera setelah KKPR diterbitkan untuk mencegah pelanggaran pemanfaatan ruang; kemudian, pemantauan berkala dan menerus selama proses pemanfaatan ruang; dan terakhir, melakukan penertiban ruang apabila terjadi pelanggaran," katanya.
“Kami juga melakukan integrasi data spasial melalui geoportal untuk mendukung pengendalian berbasis digital. Lalu, dilakukan penyesuaian struktur kelembagaan di Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan BPN,” katanya.
Baca juga: MUI Soroti Penggusuran Lahan Warga Terkait Proyek PIK 2: Pemerintah Pro Pengusaha Daripada Rakyat
Sementara itu, Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang Ditjen PPTR Kementerian ATR/BPN, Aria Indra Purnama, mengatakan, pada era kemudahan saat ini, kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang menjadi instrumen penting untuk memastikan pengelolaan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
“Kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang menitikberatkan pada fungsi kontrol terhadap aktivitas pemanfaatan ruang untuk mendukung ekosistem investasi dengan tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan lingkungan. Adapun kebijakan ini berlandaskan pada sejumlah regulasi, di antaranya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun Tahun 2024 yang memberikan kemudahan dalam proses administrasi izin usaha; dan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelanggaraan Penataan Ruang,” katanya.
Ia mengungkapkan, pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang menggunakan dua pendekatan.
“Pertama, pendekatan Preventif yaitu melakukan penilaian kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) serta pembinaan pelaku usaha kecil dan mikro (UMK).
Kedua, pendekatan Kuratif berupa pengenaan sanksi administratif bagi pelanggaran, termasuk penghentian kegiatan hingga pemulihan fungsi ruang. Dapat dikatakan penilaian KKPR menjadi hal penting dalam menilai kesesuaian penggunaan ruang terhadap dokumen rencana tata ruang,” jelasnya.