TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) bereaksi terhadap rencana DPR dan Pemerintah merevisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang saat ini menjadi salah satu program prioritas legislasi nasional (prolegnas) di DPR RI.
ATVSI menyebutkan, ada 7 isu penting yang harus dikaji dalam pembahasan revisi UU tersebut.
Ketua ATVSI Ishadi SK mengatakan, ketujuh isu penting tersebut adalah:
Pertama, rencana strategis dan cetak biru penyiaran televisi digital;
Kedua, pembentukan wadah dan keterlibatan Asosiasi Media Penyiaran Indonesia dalam perizinan dan kebijakan penyiaran digital termasuk pembentukan Badan Migrasi Digital yang bersifat ad hoc;
Ketiga, penerapan sistem hybrid merupakan bentuk nyata demokratisasi penyiaran;
Keempat, aturan durasi iklan komersial dan iklan layanan masyarakat;
Kelima, pembatasan Iklan Rokok;
Keenam, siaran televisi lokal;
Ketujuh, proses pencabutan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP).
Ishadi juga menjelaskan, saat ini draft RUU Penyiaran yang beredar adalah versi tanggal 6 Febuari 2017 yang pembahasannya sudah berada di Badan Legislasi DPR RI.
“Terkait draft RUU Penyiaran tersebut, ATVSI telah diundang Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada tanggal 3 April 2017 untuk memberikan tanggapan dan masukan mengenai beberapa isu penting yang menjadi roh dari RUU Penyiaran. ATVSI juga telah menyampaikan Naskah Akademik dan Draft RUU kepada Baleg dan Panja RUU Penyiaran DPR RI”, ujar Ishadi.
Ishadi menegaskan, ketujuh isu penting di atas menjadi roh dari RUU Penyiaran yang perlu disepakati oleh stakeholder penyiaran dan kini menjadi usulan ATVSI untuk dibahas.
Dia menambahkan, untuk mengantisipasi perkembangan teknologi penyiaran, Indonesia memerlukan perencanaan strategis.
Rencana Strategis Penyiaran setidaknya mencakup ketersediaan spektrum frekuensi, penggunaan alokasi frekuensi dan wilayah siar, pengembangan dan pemanfaatan teknologi digital, migrasi digital, potensi perkembangan media penyiaran, pembangunan sarana dan prasarana penyiaran.
Selain itu juga mencakup pembangunan sumber daya penyiaran, perkembangan dan keberlangsungan industri penyiaran serta pemenuhan dan pemerataan informasi kepada masyarakat.
“Penyiaran digital yang diselenggarakan oleh beberapa penyelenggara penyiaran multipleksing memerlukan penerapan sistem hybrid yang merupakan bentuk nyata demokratisasi penyiaran. Dan ini juga merupakan antitesa dari monopoli (single multiplexer),” ujar Ishadi.
Ishadi juga mengungkapkan, sinergi dan optimalisasi peran serta industri penyiaran dalam kebijakan dan perizinan sangat diperlukan. Karena itu, perlu dibentuk wadah perhimpunan berbagai organisasi media penyiaran radio dan televisi.
Mengenai perizinan, ATVSI mengusulkan mekanisme pembatalan harus melalui mekanisme dan prosedur yang ketat.
“Selain itu harus ada mekanisme keberatan bagi pemegang IPP atas pembatalan IPP melalui jalur peradilan dan hanya mengikat apabila sudah mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkracht (due process of law). Pembatalan IPP melalui mekanisme peradilan akan memberi kepastian hukum bagi keberlangsungan usaha dan perlindungan terhadap investasi yang telah dilakukan,” sebut Ishadi.
Dia juga menegaskan, isi pasal-pasal RUU Penyiaran harus visioner serta dapat mengantisipasi perkembangan teknologi dan dapat memenuhi keinginan masyarakat akan kebutuhan konten penyiaran yang baik dan berkualitas.
Karena itu, penyusunan RUU Penyiaran harus melibatkan pemangku kepentingan seperti pelaku industri penyiaran, regulator, dan industri terkait lainnya.