TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi teror umumnya dilakukan secara bertahap.
Teror tersebut menurut mantan Komandan Kelompok Khusus Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Kolonel (Purn) Fauka Noor Farid, dilakukan sesuai dengan reaksi dari si korban teror.
"Kalau memang belum takut juga, ya ditingkatkan tingkat terornya. Itu dilakukan secara bertahap," ujarnya saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (7/5/2017).
Baca: Kondisi Kesehatan Terkini Novel Baswedan
Fauka Noor Farid mencontohkan, bila seseorang yang merasa terancam oleh orang lain, seperti seseorang penegak hukum atau seorang tokoh masyarakat yang dianggap berpotensi merugikan, maka hal yang dilakukan oleh orang yang merasa terancam itu adalah memberikan pesan.
Jika si korban teror itu tidak bergeming, maka langkah selanjutnya adalah melakukan aksi serupa, dengan tingkat teror yang lebih tinggi.
Dengan harapan si korban teror akan memberikan reaksi yang berbeda dibandingkan aksi sebelumnya.
"Misal dibicarakan dulu baik-baik, jika tidak mau, pelaku biasanya melakukan hal-hal yang lebih kasar, melakukan tindak kekerasan seperti menembak atau menganiaya," katanya.
Baca: Benarkah Kamar Pribadi Habib Rizieq Ditembak Sniper?
Kasus yang menurutnya terhitung sebagai aksi teror, adalah aksi penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, dan penembakan terhadap Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab atau Habib Rizieq.
Novel Baswedan, penyidik KPK yang juga menangani kasus e-KTP, diserang pada 11 April lalu, dalam perjalan pulang ke kediamannya, usai melaksanakan ibadah salah subuh di masjid yang terletak tidak jauh dari kediamannya, di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Timur.
Kasus Habib Rizieq dilaporkan ke media oleh Ketua Panitia Tamasya Al Maidah, Ansufri Idrus Sambo atau Ustaz Sambo.
Diceritakan bahwa pada 25 April lalu, Habib Rizieq saat melaukan dzikir di pendopo yang terletak di pekarangan kediamannya di kawasan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Namun kasus tersebut tidak dilaporkan ke Polisi.
Fauka Noor Farid menyebut untuk kasus teror, umumnya si korban sedikit banyaknya tahu siapa yang melakukan teror tersebut karena aksi itu bukanlah aksi tunggal yang dilakukan sekali.
"Si korban pasti tahu, cuma mungkin tidak punya bukti," ujarnya.
Pasalnya jika si korban tidak tahu siapa dalang dibalik teror tersebut, maka kemungkinan besar ketakutan yang dirasakan si korban tidak akan membuat keadaan si pelaku jadi lebih aman.