TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (kemenkoinfo) didesak segera menyusun dan melaksanakan strategi komunikasi "berperang" melawan hoax secara masif bukan dalam bentuk sporadis, terutama melalui sosial media.
Hal itu menurut Pengamat Politik dari Emrus Corner, Emrus Sihombing kepada Tribunnews.com, Senin (15/5/2017).
Emrus melihat setelah kita masuk era Sosial Media (sosmed), tidak jarang hoax mewarnai isi media ini.
Tak terbantahkan, jika sosmed di tangan orang yang tidak bertanggung jawab, maka media tersebut digunakan sebagai saluran pesan hoax.
Belum lagi, seseorang yang tidak bertanggung jawab tersebut mengendalikan sosmed lebih dari satu, atau bisa puluhan, atau bahkan ratusan dengan bantuan "mesin" pengganda.
Bisa saja antar isi sosmed yang satu dengan isi sosmed yang lain saling mendukung untuk menciptakan opini publik yang menguntungkan kepentingannya semata.
Atau saling berbantah untuk menciptakan kekacauan atau ketidakpastian di ruang publik agar bisa "memancing di air keruh".
Padahal, sosmed-sosmed tersebut bisa jadi di-drive oleh satu orang, atau kekuatan tertentu.
Situasi semacam itu tampaknya berpotensi besar terjadi ke depan, kalau tidak mau disebut sudah terjadi saat ini.
Tujuannya semata-mata membentuk opini atau mengacaukan persepsi publik demi menguntungkan kepentingan dirinya atau kelompok tertentu.
"Hal tersebut berpotensi menjadi ancaman serius bagi rasa kebangsaan," ujar Emrus kepada Tribunnews.com.
Karena itu, tidak heran bila isi sosmed yang mengandung hoax tersebut mengatasnamakan tokoh atau orang yang kredinel, misalnya.
Padahal, tokoh tersebut sama sekali tidak pernah berpendapat apalagi tidak pernah menulis tentang isi pesan yang mengandung hoax.
Buktinya acapkali mengemuka, setelah mengetahui bahwa namanya dipakai sebagai sumber atau penulis, segera kemudian tokoh kredibel itu membantahnya secara tegas.
Untuk itu dia tegaskan, hoax harus segera ditiadakan atau diredam atau paling tidak diperkecil ruang geraknya.
"Sebab, dari aspek komunikasi, ada kecenderungan pesan yang pertama diterima oleh masyarakat, bisa jadi dalam bentuk hoax, lebih meresap dalam peta kognisi seseorang sebagai khalayak media daripada isi bantahan yang bukan hoax," katanya.
Selain itu, bila pesan sudah dilontarkan, juga bisa dalam bentuk kemasan hoax, sulit ditarik kembali.
Karena tetap berbekas dalam kognisi seseorang sebagai anggota masyarakat dan khalayak media.
Untuk itu, sudah sangat urgent dan mendesak menurutnya, Kemenkoinfo menyusun dan melaksanakan strategi komunikasi "berperang" melawan hoax secara masif. Bukan dalam bentuk sporadis, terutama melalui sosmed.
"Lebih cepat, lebih baik. Jangan sampai terlambat," katanya.
Bila tidak, imbuhnya, hoax akan semakin menguasai ruang publik kita di Tanah Air.
Jika hoax menguasai ruang publik, maka kata dia, berpotensi besar menimbulkan dampak yang serius di tengah masyarakat.
Karena itu, jangan sampai terjadi semacam pembiaran dari para pihak, terutama dari instansi yang bertanggungjawab terhadap proses komunikasi di Indonesia, utamanya melalui sosmed.
"Sebelum terjadi dampak yang serius tersebut, menurut hemat saya, sebaiknya Kemenkoinfo bertindak lebih proaktif dan preventif," ujarnya.