TRIBUNNEWS.COM - Mendengar ‘Pulau Pari’ terbayang keindahan Pantai Pasir Perawan. Namun siapa sangka, di balik wisatanya, pulau ini jadi sengketa.
Warga yang sudah tinggal puluhan tahun kini terancam diusir oleh perusahaan PT Bumi Pari Asri yang mengklaim 90 persen luas pulau itu.
Hingga belakangan, enam warga disangka melakukan pungli. Betulkah tuduhan itu? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Akhir pekan di awal Maret. Pulau Pari sedang sibuk-sibuknya kedatangan pelancong. Warga Pulau Pari, Syahrul Hidayat, sedang di dermaga ketika melihat puluhan polisi datang.
“Pada jam setengah satu saya di dermaga. Melihat dua kapal polisi masuk. Saya sedang bawa belanjaan pakai andong. Polisi banyak sampai pakai laras panjang,” ungkap Syahrul.
Puluhan polisi itu langsung berjalan menuju utara, membelah pemukiman warga, sehingga menarik perhatian wisatawan. Di Pantai Pasir Perawan, polisi berlaras panjang menangkap enam orang.
“Itu di jalan dijaga semua oleh polisi. Orang-orang (pengelola pantai) ada di pos tiket. Disebutnya OTT dengan barang bukti. Penangkapan itu kan siapa saja yang ada di situ diangkut semua,” ujar Syahrul.
Polisi menangkap tiga pengelola pantai, dua warga, termasuk 1 anak usia SMP. Namun dua hari kemudian, polisi melepas warga dan anak SMP itu karena tidak terlibat sangkaan pungutan liar (pungli).
Hanya saja, polisi langsung menetapkan tiga pengelola pantai sebagai tersangka atas sangkaan pungli. Lewat surat jaminan, ketiganya kini mesti menjalani wajib lapor.
Penangkapan itu terjadi persis ketika warga tengah bersitegang dengan PT Bumi Pari Asri, yang mengklaim memiliki 90 persen pulau yang meliputi pemukiman warga dan pantai.
Namun Kapolres Kepulauan Seribu, Boy Rando Simanjuntak, berdalih penangkapan tersebut bagian dari tugas Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli).
”Kita juga merencanakan kegiatan. Dari saudara-saudara bisa melihat kita kegiatan start Februari semua. Di Depok mungkin sudah dengar penangkapan OTT, di bandara sudah dilakukan oleh Polres bandara, kemudian di Bekasi kota,” ungkap Boy.
Pendamping warga dari LBH Rakyat Banten, Tigor Hutapea, menyatakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Saber Pungli seharusnya hanya berlaku untuk pejabat negara atau pegawai negeri, bukan warga biasa.
Menurutnya ini hanyalah akal-akalan memuluskan privatisasi Pulau Pari yang digencarkan perusahaan.
“OTT ini harusnya untuk pejabat yang korup. Kenapa ini malah menyasar warga? Apa yang mereka korupsi? Apalagi pantai ini sudah dikelola secara mandiri sejak awal,” ujar Tigor.
Selain tiga warga yang kena operasi Saber Pungli, ada juga Edi Priadi yang dipenjara sejak empat bulan lalu karena membangun homestay di lahan yang diklaim PT Bumi Pari Asri.
Dian, istri Edi, mengatakan petugas kelurahan mempermasalahkan bangunannya.
“Ibu kenapa? Sudah tahu tanah PT ibu bangun?’ Loh pak kenapa ini diributin dari sekarang nggak dari pertama. Toh yang bangun homestay bukan saya saja. Semua bangun homestay. ‘Itu orangnya bandel orang Pulau Parinya. Kan ibu sudah dilarang sama saya.’ Kapan?,” terang Dian.
Bahkan Dian diusir dari homestay dan rumahnya di barat pulau.
“Apakah bapak terima kalau isteri bapak seperti saya ditinggal suaminya masuk penjara tiba-tiba saya disuruh minggat dari tempat ini? Kalau mau ngusir, kemarin. Ketika suami saya belum ditahan dan dipenjara. Jadi hari itu dan detik itu juga suami saya pergi bersama saya,” ungkap Dian.
Hingga pada Maret lalu, petugas kecamatan datang membujuk Dian pergi dengan menawarkan Rp20 juta. Uang itu dari perusahaan. Tapi dia tegas menolak.
“Kenapa camat, bupati, dan lurah kerjasama? Termasuk aparat yang nggak pro sama warga. Menurut dugaan saya, kalau tidak kerjasama nggak mungkin dia bawa (uang dari perusahaan),” ungkap Dian.
Warga tak terima dengan tuduhan pungli yang dilayangkan Polres Kepulauan Seribu. Toh, sedari dulu pantai ini dikelola secara swadaya.
“Kita pada awalnya belum ada pembangunannya. Kita bersumber swadaya. Jadi pengelolaan Pantai Pasir Perawan ini tidak memikirkan untung pada awalnya. Mereka hanya memikirkan bagaimana caranya kita mengembangkan pariwisata dengan membuka Pantai Pasir Perawan, yang awalnya belum ada namanya,” ungkap Ketua RW 04, Khatur Sulaiman.
Dia bercerita, pada 2010 warga membuka pantai di utara pulau yang dikelilingi Bakau. Mereka menebang alang-alang dan menamai pantai itu Pasir Perawan. Warga kemudian menunjuk 11 orang sebagai pengelola, dan menetapkan harga tiket Rp5000.
“Itu nanti uang setiap minggunya dikumpulkan dan dihitung. Hak untuk sosial berapa, kemudian uang kas untuk pembangunan, perawatan, dan perbaikan saung. Sisanya baru mereka bagi sebagai keuntungan. Satu minggu paling juga100 -200 ribu Rupiah,” ujar Khatur.
Berkat usaha warga, pantai itu kini jadi perhatian turis. Pantai ramai, warga pun membangun ekonomi lewat penyewaan homestay. Sementara Pemprov DKI Jakarta tak pernah menyalurkan bantuan, kecuali membangun saung yang kini sudah roboh.
Sejak penangkapan bulan lalu, warga tidak boleh lagi menjual tiket. Meski wisatawan bisa masuk gratis, pantai tidak ada pemasukan. Khatur memperkirakan kerugian selama tujuh pekan mencapai Rp35 juta.
“Tetap ada kebersihan. Ada saung yang roboh. Tidak ada pemasukan. Dampak paling besar itu pantai tidak bersih total. Ada kebersihan tapi tidak optimal,” kata Khatur.
Didera penangkapan dan tuduhan adanya pungli, warga memilih bertahan. Namun sial karena mereka tak punya bukti kepemilikan lahan di Pulau Pari.
Penulis: Rio Tuasikal/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)