TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik Ray Rangkuti menilai DPR dan pemerintah tidak perlu banyak merubah Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Umum.
"Kalau diutak-atik lagi akan panjang pembahasannya, perdebatan akan panjang dan tidak akan selesai," kata Ray ketika dikonfirmasi, Senin (29/5/2017).
Apalagi jika muncul kesan memperberat atau mempersulit syarat partai politik mengikuti Pemilihan Umum 2019 melalui UU Pemilu.
"Ini bisa merugikan semua partai. Pembahasan RUU Pemilu tidak akan selesai-selesai karena tergantung siapa yang yang diuntungkan dan siapa dirugikan," kata Ray.
Baca: Intrans: Parpol Lama Jangan Gali Kubur Sendiri
Apalagi, menurut Ray, jika nantinya di dalam UU Pemilu ada kewajiban semua partai politik memiliki kepengurusan dan keanggotan partai wajib 100% di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
"Menurut saya itu tidak perlu," kata dia.
Ray menilai RUU Pemilu yang ada sekarang sudah cukup baik untuk diberlakukan pada Pemilu 2019. Namun memang perlu penambahan pada poin tertentu seperti sanksi terhadap politik SARA.
"Yang urgent misalnya bagaimana defenisi politik SARA di Pemilu nanti.Ini belum dibahas sama sekali padahal ancamannya besar seperti di Pilkada DKI," kata Ray.
Menurut Ray, jika di Pilpres muncul politik SARA maka tidak ada regulasi jelas mengaturnya.
"Sanksinya tidak jelas," ujar Ray.
Oleh karena itu, kata dia, penting dipikirkan masalah ini ketimbang hal-hal lain yang tidak substansial diperdebatkan seperti bagi-bagi kursi dan lainnya.
"Masalah SARA ini serius harus kita hadapi di Pemilu 2019. Jadi perlu dipikirkan mulai dari sekarang solusinya," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, muncul wacana tentang diperberatnya persyratan untuk mengikuti Pemilihan Umum 2019 melalui RUU Pemilihan Umum yang akan segera disahkan oleh DPR RI mengandung konsekuensi tidak satupun parpol bisa mengikuti Pemilu 2019.