TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sudah menerima permintaan dari Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, agar BPK mengaudit pembelian helikopter Agusta Westland (AW) 101.
Hal itu dikatakan oleh Anggota 1 BPK, Agung Firman Sampurna.
"Panglima TNI sudah mengajukan, tapi kami belum melaksanakan karena diawal prioritas itu pemeriksaan kepada laporan keuangan, tugas utama BPK mandatorinya pemeriksaan keuangan," ujarnya kepada wartawan di Pusdiklat BPK, Jakarta Selatan, Senin (29/5/2017).
Bila ada penyimpangan, dari pemeriksaan keuangan itu akan kelihatan indikasi-indikasinya.
Jika beresiko mempengaruhi kewajaran danakuntabilitasnya rendah, menurutnya BPK akan melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).
"Kalau sudah bagus, akubtabel, transaparan, kita lakukan pemeriksaan kinerja," ujarnya.
Menurutnya Panglima TNI meminta BPK melakukan audit invetigasitf terhadap pembelian helikopter seharga 55 juta dollar Amerika Serikat (AS) itu.
Agung Firman Sampurna mengatakan BPK punya kewenangan penuh untuk menentukan jenis audit, sesuai dengan kebutuhannya.
"Panglima TNI minta audit investigatif BPK punya wewenang penuh untuk menentukan jenis auditnya dan objek yang akan diperiksanya, kita menentukan pemeriksaan tahap awal ini PDTT, dan objeknya bukan hanya AW 101 saja, tapi seluruh alutsista," ujarnya.
Pembelian helikopter canggih itu sejak awal diwarnai dengan polemik. Awalnya Presiden RI.
Joko Widodo menolak rencana pembelian helikopter itu untuk kendaraan angkut kepresidenan.
Belakangan helikopter tersebut tetap dibeli, namun peruntukannya adalah untuk SAR tempur.
Aksi saling lempar juga sempat terjadi antara Panglima TNI, Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Agus Supriatna, yang saat ini sudah tidak lagi menjabat.
Jumat lalu (26/5), Gatot Nurmantyo di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bersama sejumlah pimpinan KPK, mengumumkan bahwa dari kasus tersebut, ada tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Marsma TNI FA selaku pejabat pembuat komitmen (PPK), dan Letkol. Adm TNI WW selaku pemegang kas, dan Pelda SS yang menyalurkan dana pada pihak tertentu.
Dari audit internal yang dilakukan oleh TNI, menurut Gatot Nurmantyo diketahui kerugian negara mencapai sekitar Rp 220 miliar dari nilai proyek Rp 738 miliar.