Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan memberlakukan aturan ‘Lima Hari Sekolah’ terhitung mulai di tahun ajaran baru 2017/2018 pada bulan Juli mendatang.
Menanggapi itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menjelaskan bahwa aturan mengenai ini harus disosialisasikan secara massif dan jelas. Serta, harus ada komunikasi yang baik hingga ke daerah.
“Kalau hal ini berdasarkan kajian, silahkan saja. Tapi, sebagai kebijakan politik harusnya tidak hanya diputuskan oleh satu institusi yang memiliki otoritas atau dari pendukungnya saja, tapi juga harus berdasarkan pilihan publik, public choice. Jadi jangan sampai masyarakat menjadi resah hanya karena kebijakan seperti ini,” jelas Abdul Fikri dalam keterangan tertulis, Selasa (13/6/2017).
Sebab, Fikri menilai, terdapat setidaknya dua tantangan sebelum kebijakan ini diberlakukan. Pertama, soal perubahan aturan jam belajar. Kedua, soal Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu beban kerja dan jumlah guru. Ketiga, mengenai sarana dan prasarana, khususnya mengenai ketersediaan ruang kelas ideal.
“Kalau 8 jam nya 60 menit, maka mulai jam 7 selesai jam 3. Kalau 45 menit, maka akan berkurang menjadi pulang jam 2 sore. Kalau plus istirahat maka pulang jam 4. Aturan seperti ini harus clear, kalau tidak clear, berbahaya,” kata Politikus PKS itu.
Persoalan jam belajar ini menjadi persoalan, pasalnya berdasarkan Kunjungan Kerja Panja Dikdasmen pekan lalu, Komisi X DPR RI mendapatkan keluhan dari Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara jika para siswa harus pulang sampai sore.
"Kemarin saya dari Medan. Dapat masukan bahwa jangan sekolah sampai sore, karena kami para siswa biasanya makan dari rumah, tidak bawa makan ke sekolah. Kalau sampai sore, berarti kan para siswa harus bawa makan ke sekolah. Atau kalau tidak, harus ada fasilitas kantin yang memadai. Tidak banyak sekolah yang memiliki kantin ideal,” tutur Abdul Fikri.
Dari segi guru, pemerintah saat ini masih menghadapi jumlah guru yang terbatas di daerah. Padahal, pemerintah inginnya pendidikan kita 70 persen adalah sekolah vokasi dan 30 persen untuk umum (teori).
“Artinya, perlu ada rekayasa di sekolah berapa persen guru yang mengajar teknik mesin dan sebagainya. Faktanya kita masih kekurangan guru. Bahkan di beberapa daerah para Babinsa yang berasal dari unsur TNI, khususnya di daerah perbatasan, juga ikut disertakan dalam mengajar. Ini fakta di NKRI kita,” katanya.
Dari segi sarana dan prasarana, pemberlakuan 8 jam atau lima hari sekolah, harus didukung oleh infrastruktur sekolah yang baik. Faktanya, saat ini terdapat sekitar 1,8 juta ruang kelas di seluruh Indonesia. Dari angka tersebut hanya sekitar 450-500 ribu ruang kelas dalam kondisi baik.
“Bagaimana jika anak-anak yang sekolah siang harus dipadatkan menjadi pagi semua. Bagaimana dengan fasilitas laboratorium, komputer, dan sarana prasarana lainnya. Ini tentu harus dipikirkan baik-baik,” imbuh Abdul Fikri
Sejauh ini, menurut Abdul Fikri, sudah ada usaha untuk memerbaiki ruang kelas. Dengan pembagian, yaitu, 50 persen anggaran dari pusat, 30 persen provinsi, dan 20 persen kabupaten/kota.
“Andaikan Pak Menteri tetap mau melaksanakan kebijakan ini, perlu request ke menteri keuangan. Anggaran pendidikan di APBN ada 419 triliun atau 20 persen, yang disampaikan ke kemendikbud hanya 39 triliun, 39 triliun ke kemenristekdikti,dan 53 triliun ke Kemenag. Sisanya, masuk ke kementerian lain dan ke daerah melalui DAK yang kadang-kadang juga disalahgunakan anggarannya, sehingga menjadi catatan BPK,” tegas Abdul Fikri.
Kalau penataan ruang kelas ini ingin diselesaikan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun, Fikri menilai butuh anggaran setidaknya 12 triliun ke Kemdikbud untuk menyelesaikan ruang kelas.
“Dan tidak mungkin diserahkan daerah. Karena fiskal daerah terbatas. Sehingga, butuh perpres untuk dilakukan oleh beberapa kementerian terkait,” katanya.
Dengan adanya sosialisasi massif terkait aturan ini, Abdul Fikri berharap tidak akan terjadi kegaduhan. Mengingat, jumlah sekolah negeri yang dikelola oleh pemerintah, jumlahnya kalah dengan yang dikelola oleh swasta atau ormas.
“Penyelenggara pendidikan terbesar adalah Ormas NU dan Muhammadiyah. Kalau mereka merespon negatif, akan berbahaya. Tapi, kalau dijawab kegelisahan mereka, tentu tidak masalah,” kata Abdul Fikri.