“Di sisi lain bisnis juga sudah harus mulai sadar terhadap konsepGood Corporate Governance, etika, integritas, maupun tanggung jawab sosias. Komitmen untuk memenuhi atau bahkan melebihi kepuasan konsumen (go beyond customer satisfaction) merupakan prasyarat mutlak bagi penguatan daya saing bisnis masa depan,” ujar Farouk.
Farouk menilai, efisiensi sektor pemerintahan dan bisnis di Indonesia seperti dua sisi mata uang, keduanya perlu dibenahi agar arus penanaman modal dalam negeri maupun luar negeri dapat menjadi semakin besar, sehingga dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan yang pada akhirnya dapat memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
“Tantangan Indonesia adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inlusif (menunjang pemerataan ekonomi). Sumber-sumber daya ekonomi tidak boleh dinikmati oleh sekelompok orang saja. Pemerintah harus memberikan kemudahan dalam berinvestasi dan tidak membuat regulasi yang membelenggu dunia usaha,” paparnya.
Sub-indikator penting terakhir yang perlu dibenahi adalah infrastruktur.
“Indonesia mempunyai kebutuhan yang kritis terhadap pembangunan infrastruktur, di sub-indikator infrastruktur Indonesia masuk di jajaran terbawah, di peringkat ke 59 dari 63 negara,” jelas Farouk.
Memang, di satu sisi pemerintah terus menggenjot proyek infrastruktur untuk mengejar pemerataan pembangunan dan mengatasi ketimpangan pendapatan.
Hanya saja, pemerintah masih terbelit ketersediaan dana untuk program infrastruktur tersebut dan prioritas pembangunan infrastruktur yang belum jelas.
"Persoalan ini membuat peringkat daya saing Indonesia di sektor infrastruktur belum mampu mengimbangi Malaysia yang berada di peringkat kedua setelah Singapura di negara negara ASEAN. Indonesia di peringkat lima, kalah dari Thailand dan Filipina," papar Farouk.
Menurut Chairman CISFED ini, peringkat daya saing Indonesia yang terlemah ada di sektor infrastruktur, yaitu menduduki peringkat 59 dari 63 negara sesuai penilaian IMD.
Peringkat komponen infrastruktur meliputi infrastruktur dasar (di antaranya transportasi darat, laut, dan udara), infrastruktur teknologi (diantaranya konektivitas dan kapasitas internet, penggunaan computer, dan ketersediaan dana untuk pengembangan teknologi), infrastruktur sains (di antaranya pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan, jumlah peneliti dan penelitian, transfer ilmu antara universitas dan perusahaan), infrastruktur kesehatan dan lingkungan (diantaranya pengeluaran untuk kesehatan publik, infrastruktur kesehatan yang memenuhi kebutuhan masyarakat, dan pencegahan polusi) serta infrastruktur pendidikan (diantaranya pengeluaran publik untuk pendidikan, rasio guru dan murid di sekolah primer dan sekunder, capaian sekolah pendidikan tinggi, pendidikan universitas yang memenuhi kebutuhan masyarakat dan bisnis).
Akhirnya Farouk menjelaskan bahwa untuk menjadi negara yang lebih maju dan punya daya saing di level internasional, Indonesia perlu menciptakan lingkungan ramah bisnis, mulai dari birokrasi yang bersih dan melayani, kepastian hukum, dan infrastruktur yang memadai.
Lebih lanjut, Farouk menuturkan, belum kompetitifnya iklim investasi di tanah air juga tidak terlepas dari aspek penegakkan hukum dan birokrasi pemerintahan yang tidak efisien bahkan cenderung korup.
Ia mendorong pemerintah meminimalisasi segenap faktor penghambat daya saing, salah satunya dengan melakukan penyederhanaan birokrasi yang sudah menjadi agenda dalam paket kebijakan ekonomi.
“Birokrasi yang simple, dan “friendly” kepada segenap pelaku bisnis dan bebas korupsi harus diwujudkan agar daya saing Indonesia terangkat,” harap Farouk. “Isu-isu tersebut pada dasarnya bukan isu baru, tetapi selama Indonesia tidak bisa mengatasinya secara tuntas, maka selama itu pula kita tidak akan bisa masuk ke jajaran negara-negara maju,” tutup Farouk.