Muhadjir melanjutkan, ada beberapa karakter yang hendak dibentuk. Di antaranya, ada beberapa yang menjadi prioritas dari total 18 karakter, yakni jujur, pantang menyerah, toleran, dan gotong royong.
"Jadi sekali lagi 8 jam itu enggak berarti anak ada di kelas tetapi bisa di lingkungan sekitar sekolah bahkan di luar sekolah, yang penting semua jadi tanggung jawab sekolah di manapun anak belajar," lanjut dia.
Hal senada dikemukakan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ari Santoso.
Ari menilai kebijakan belajar delapan jam sehari mendapat banyak pertanyaan dan kritik karena belum dipahami secara mendalam oleh masyarakat.
"Masyarakat baca permennya itu, pemahaman pasalnya belum tuntas. Sehingga ada beberapa hal yang dipertanyakan," kata Ari, dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/6/2017) lalu.
Selain itu, Ari mengatakan ada kekeliruan saat pemahaman belajar delapan jam sehari disebut sebagai full day school.
Akibat penggunaan istilah tersebut kemudian muncul kesan anak-anak akan seperti disandera di sekolah.
"Padahal di permen (peraturan menteri) ini tidak ada kata-kata full day school tetapi penguatan pendidikan karakter (PPK)," ujar Ari.
Menurut Ari, PPK dilakukan dalam rangka mendukung Nawacita yang digagas Presiden Joko Widodo. Dia juga meminta agar kebijakan tersebut tidak dianggap menambah jam belajar di kelas karena pada pelaksanaannya peserta didik akan diajak bermain sambil belajar.
"Saya yakin niat Kemendikbud dan pemerintah itu bukan nambah di intrakurikulernya, tapi nambah supaya anak-anak (sambil) bermain," ujar Ari. (kps/nic)