TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat hukum tata negara Margarito Kamis mengkritisi penyebutan sejumlah nama anggota DPR yang diduga terlibat dalam kasus korupsi e-KTP oleh Jaksa KPK dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin.
Margarito mengatakan, penyebutan sejumlah nama anggota DPR yang didasarkan pada keterangan dua terdakwa kasus korupsi e-KTP, Irman dan Sugiharto, masih membutuhkan bukti tambahan.
Terlebih, keterangan Irman dan Sugiharto terkait dugaan keterlibatan sejumlah anggota DPR itu telah dibantah oleh sutradara kasus e-ktp Andi Agustinus alias Andi Narogong dan saksi mahkota Paulos Tanos dalam kasus tersebut.
"Ini kembali pada bukti penguat. Bukti lain itu bisa jadi surat yang bisa menguatkan keterangan saksi-saksi yang saling menyangkal," kata Margarito saat dihubungi, Jumat (23/6/2017).
Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, Jaksa menyebut ada pertemuan antara dua terdakwa dengan Setya Novanto serta Andi Narogong dan Paulos Tanos untuk membahas proyek e-KTP.
Namun demikian, dakwaan itu dibantah kesaksian/pengakuan Andi Narogong dan Paulos Tanos. Keduanya menyebutkan tak ada pembahasan soal proyek e-KTP dengan Setya Novanto.
Bila tidak ada bukti lain yang bisa menguatkan dua keterangan yang saling bertentangan tersebut, Margarito menilai, seluruh persitwa yang disebut terdakwa dan saksi-saksi itu bisa dianggap tidak ada.
"Artinya, kita tidak bisa menggunakan keterangan yang menyangkal. Kita juga tidak bisa menggunakan keterangan yang memberatkan untuk menjerat Setya Novanto dan para anggota DPR," kata Margarito.
"Bila tak ada bukti tambahan, itu artinya keterangan para saksi itu bernilai negatif dan tidak bisa digunakan sebagai acuan penyidik untuk melakukan pengembangan kasus ini," imbuh dia.
Margarito menambahkan, terkait isi tuntutan jaksa terhadap Irman dan Sugiharto yang menyebut nama-nama anggota DPR yang berbeda dengan fakta bersidangan, harus dilakukan pengecekan kembali termasuk mengecek kualitas keterangan saksi jaksa.
"Itu bagaimana mereka (yang menyebut anggota DPR), apakah mereka melihat, apakah mereka ikut dalam rapat, atau kah mereka cuma dengar, oh saya dengar dari ini, Novanto ikut rapat, keterangan keterangan yang kayak begini nggak bisa dipakai. Tapi kalau orang orang itu ikut dalam rapat tahu langsung melihat langsung Novanto ikut dalam rapat maka keterangan mereka itu menjadi beralasan," tuturnya.
"Jadi kembali itu harus dicek pada apakah saksi yang menyangkal-menyangkal itu adalah mereka yang melihat, mendengar, dan mengalami kejadian itu, atau tidak, kalau mereka tidak melihat, tidak mengalami, tidak mendengar, melainkan mereka mendengarnya dari orang lain, maka keterangan mereka nggak bisa dipakai. Harus dicek lagi rentetan peristiwa," tandasnya.