TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA-PDI Perjuangan menggelar Wayang Kulit dalam rangka Peringatan Tragedi 27 Juli 1996. Wayang dengan lakon Abimanyu Ranjam, oleh Ki Dalang Warseno Slank, digelar di Lapangan Parkir Kantor DPP PDI Perjuangan, Lenteng Agung, Kamis (28/7/2017) malam.
Lakon ini menggambarkan perjuangan anak muda yang gagah berani dalam memperjuangkan kebenaran. Hadir dalam pagelaran tersebut Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Ketua DPP PDI Perjuangan Nusyirwan Soedjono.
Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, wayang bukan hanya ritual kehidupan tapi juga mengandung filsafat dasar nenek moyang bangsa Indonesia.
Dalam wayang tersirat cerita yang merefleksikan kehidupan umat manusia. Termasuk dinamika. "Tampilan politik dalam dunia kontemporer kini juga tercermin dari wayang," ujar Hasto.
Hasto mengatakan, semua harus mengingat sebuah pesan dalam pidato Bung Karno, bahwa bangsa Indonesia akan kuat kalau berani meletakkan nasib di tangan sendiri. Maka inilah yang dijalankan PDI ketika diintervensi oleh pemerintahan Orde Baru yang otoriter.
"Puncak intervensi itu terjadi pada 27 Juli 1996. Dalam peristiwa Kudatuli kita lihat PDI mencoba dihabiskan oleh pemerintah dengan mengambil alih kantor secara paksa. Kantor adalah simbol, tempat pusat pengorganisasian dalam menjalankan semua kegiatan partai. Ini yang coba diambil alih," ujarnya.
Pengambilalihan itu menunjukkan pemerintah coba membungkam suara arus bawah yang diperjuangkan PDI di bawab kepemimpinan Megawati Soekarnoputri kala itu.
Kemudian banyak yang memberikan masukan kepada Megawati. Salah satunya Sekjen PDIP Alex Litay bahwa peristiwa itu adalah momentum politik untuk melakukan revolusi. Namun Megawati percaya perjuangan tak bisa dilakukan dengan kekerasan dan melanggar hukum.
"Maka Ibu Mega katakan tak akan lakukan revolusi. Tapi akan lakukan gugatan hukum. Kemudian ada yang berkata, bukankah polisi kejaksaan pengadilan dan hakim dikuasai penguasa. Bukankah gugatan hukum itu jalan kesia-siaan? Kekuatiran itu lantas dilawan Megawati dengan keyakinan," tutur Hasto.
"Di antara 264 kabupaten/kota di mana kita lakukan gugatan tak ada satu pun yang punya hati nurani? Keyakinan Ibu Mega terbukti, ketika di Riau,ada yang melihat kebenaran demokrasi arus bawah,berani mengatakan, PDIP di bawah Ibu Mega, meski kantornya diambil paksa, tetap sah secara politik dan hukum," Hasto menjelaskan kembali.
Kemudian pada Kongres Sukolilo 29 Desember 1993. Pada pukul 24.00 tepat saat kongres akan dibubarkan, dengan tegas Megawati mengatakan secara de facto saya adalah ketua PDIP.
"Itulah sejarah. Meski PDIP digencet, selama keyakinan masih ada dan jiwa digerakkan untuk mengabdi pada bangsa, maka semangat itu tak bisa dimatikan. Seluruh sejarah PDIP disertai keyakinan politik yang sangat besar," tegas Hasto.
Hasto mengingatkan, seluruh kader PDIP harus mengkhidmati sejarah perjuangan politik PDIP yang berkeadaban dan betul-betul menyelesaikan masalah rakyat dibawah idiologi Pancasila.
"Jadi salah besar kalau dinilai dan dituduh bahwa PDIP sama dengan PKI karena sangat tegas dan kokoh PDIP di bawah Pancasila. Yang membuat tuduhan tak benar itu bagaikan Sengkuni dalam dunia pewayangan. Dan kita tau siapa Sengkuni itu karena baru saja diruat di Yogyakarta" jelas Hasto.
Hasto menambahkan kembali, dalam wayang seakan melihat bagaimana kisah-kisah nenek moyang bangsa Indonesia, bagaimana kebenaran berdiri tegak di atas angkara murka. Bagaimana watak satrio pinilih dikawal punokawan. Politik PDIP, lanjutnya, adalah jalan kesatria yang didampingi para punokawan.
"Dengan jalan kesatria PDIP menerima keputusan politik di DPR walau sering diambil atas kekuatan menang menangan semata. Contohnya ketika Jokowi terpilih jadi presiden. Ada yang tak puas lalu ketidakpuasan disalurkan dengan membuat perubahan MD3. Ini fakta politik bagaimana politik tanpa etika dijalankan dengan nafsu kekuasaan semata," ujarnya.
Dipaparkannya, PDIP sebagai pemenang pemilu dipotong habis dan tak diberikan duduk di pimpinan dewan dan alat kelengkapan. Mereka memotong suara rakyat sehingga apa yang disuarakan rakyat tak tercerminkan di DPR. Tapi PDIP yakin politik beretika harus dikedepankan.
Sambil guyon, Hasto mengungkapkan apa yang disampaikannya bukanlah karena baper. "Ini bukan baper lo, bawa perasaan. Bukti sikap kita, kebenaran yang menang. Itulah jalan kita dan keyakinan kita," jelas Hasto.
"Sebaliknya, dipihak lain ketika ada voting di DPR soal presidential thereshold yang hasilnya tak membuatnya puas, maka dia katakan bahwa presidential thereshold menipu rakyat. Jangan karena ambisi jadi presiden kemudian keputusan sah direduksi. Sekali lagi, ini hanya karena ambisi," Hasto menegaskan.