TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Dr Sindawa Tarang mengidentifikasi ada sejumlah faktor pemicu yang menyebabkan terjadinya kesalahan pengelolaan dana desa yang berujung pada persoalan hukum seperti yang terjadi di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur.
“Sebab itu, para kepala desa sebelum menjabat perlu dibekali ‘ilmu’ melalui semacam pendidikan dan pelatihan (diklat) agar bisa mencegah penyelewengan dana desa,” ungkap Bung ST, panggilan akrab Sindawa Tarang, kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (5/8/2017).
Sejumlah faktor tersebut, menurut ST, pertama, banyaknya regulasi dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten yang sering berubah-ubah sehingga menimbulkan ketidakbpahaman di tingkat desa.
“Kedua, banyaknya intervensi kepentingan di tingkat kabupaten, terbukti dalam kasus di Pamekasan, bukan hanya kepala desa yang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi, red), melainkan juga bupatinya,” jelasnya.
“Seharusnya pengelolaan dana desa diserahkan sepenuhnya kepada desa karena terkait dengan prioritas yang dibutuhkan masing- masing desa, tinggal pengawasannya ynng perlu diperketat,” lanjut ST yang juga mantan kepala desa di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Ketiga, kata ST, kurangnya pemerintah kabupaten memberikan bimbingan teknis (bimtek) tentang administrasi dan pengelolaan dana desa kepada para aparatur desa, termasuk kepala desa.
“Sebab itu, kami mendorong pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten agar memberikan semacam diklat terutama kepada kepala desa yang baru terpilih sebelum mereka dilantik. Diklat ini semacam tahapan prajabatan bagi CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil, red) sebelum diangkat menjadi PNS,” jelas pria bergelar doktor hukum ini.
ST mengakui, penyelewengan dana desa atau korupsi pada umumnya dipicu oleh faktor niat dan kesempatan. Ada niat tapi tak ada kesempatan, tak jadi korupsi. Ada kesempatan tapi tak ada niat, juga tak jadi korupsi.
“Niat kaitannya dengan integritas, dan integritas ini bisa ditanamkan melalui diklat tadi. Niat ini bisa sangat kuat, mengingat dana desa yang dialokasikan kepada setiap desa sangat besar, hampir Rp 1 miliar per desa. Adapun kesempatan bisa dieliminasi melalui kejelasan aturan dan ketatnya pengawasan,” paparnya sambil mengaku menyambut baik pernyataan Presiden Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang hendak memperketat pengawasan dana desa.
“Jangan lupa, selain niat dan kesempatan, ada faktor lain yang menyebabkan korupsi, yakni ketidaktahuan terhadap aturan. Kesalahan administrasi saja bisa diperkarakan menjadi korupsi yang berujung pada proses hukum. Di sinilah pentingnya diklat tadi,” tandas ST.
Seperti diberitakan, setelah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, KPK menetapkan Bupati PamekasanAchmad Syafii, Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra Prasetya, Kepala Inspektorat Kabupaten Pamekasan Sucipto Utomo, Kepala Bagian Administrasi Inspektorat Kabupaten Pamekasan Noer Solehhoddin dan Kepala Desa Dasuk Agus Mulyadi sebagai tersangka korupsi dana desa, Rabu (2/8/2017).
Dalam kasus ini, para pejabat di Pemkab Pamekasan diduga menyuap Kajari Pamekasan sebesar Rp 250 juta.
Suap tersebut diduga untuk menghentikan penyelidikan dan penyidikan perkara tindak pidana korupsi proyek infrastruktur. Proyek senilai Rp 100 juta tersebut menggunakan dana desa.
Sucipto, Agus Mulyadi, Noer dan Achmad Syafii yang diduga sebagai pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junctoPasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Rudi Indra Prasetya yang diduga penerima suap disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor.