TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat pendidikan Arief Rachman menilai pondok pesantren harus paham dengan wacana Full Day School (FDS) sebelum menolak kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)itu.
"Kenapa mereka menolak? Mereka harus paham. Jangan asal demo-demo saja tidak tahu masalah," kata Arief Rachman ketika dikonfirmasi, Senin (14/8/2017).
Arief Rachman dikonfirmasi terkait aksi unjuk rasa para santri yang ramai di media sosial.
Dalam aksi penolakan terhadap FDS itu, terlihat para santri berteriak 'bunuh menteri'.
Menteri dimaksud adalah Mendikbud yang mencetuskan program FDS ini.
Menurut Arief Rachman, pesantren memang tidak memungkinkan pelaksanaan FDS. Dia menyebut satu alasan utama.
"Kalau santri itu kan orang tuanya ada di rumah, ya berkebun atau nelayan. Sehingga tidak perlu full day school," ujarnya.
Berbeda misalnya, menurut Arief Rachman bagi sekolah di perkotaan seperti di Jakarta yang orang tuanya bekerja dari pagi hingga sore atau malam.
"Sehingga ini membantu anak-anak berada di tempat yang betul-betuk di-breafing oleh sekolah. Jadi lebih baik anak-anak di bawah bimbingan yang bertanggungjawab maka dibuat FDS," kata dia.
Jadi, menurut Arief Rachman semua pihak harus paham bahwa program ini tidak bisa dipaksakan untuk semua sekolah di Indonesia.
"Pendapat saya, bahwa saya berpihak bukan pada FDS atau bukan tetapi saya berpihak kepada pengasuhan anak yang baik dan bertanggungjawab untuk pertumbuhan anak-anak," kata dia.