TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Segala sesuatu ada sisi baik dan sisi buruknya. Begitu pun kebijakan, selalu ada sisi positif dan sisi negatifnya, termasuk kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Selain berdampak positif, terbukti dengan hasil survei yang menempatkannya sebagai menteri dengan kinerja paling bagus; kebijakan-kebijakan Susi tak dapat dipungkiri membawa dampak negatif, terutama bagi para nelayan yang merasa menjadi korban, terbukti dengan aksi-aksi demonstrasi para nelayan di Jakarta dan sejumlah daerah untuk menolak kebijakannya.
“Untuk itu, kiranya local wisdom (kearifan lokal) dan solusi alternatif perlu kita tawarkan kepada Ibu Susi agar dapat menjadi pertimbangan dalam mengambil kebijakan-kebijakan selanjutnya,” ungkap Suhendra Hadi Kuntono, pendiri Asosiasi Pekerja Bawah Air Indonesia (APBAI), di Jakarta, Senin (28/8/2017).
Ia lalu merujuk contoh local wisdom yang dimiliki nelayan Provinsi Maluku, yakni “sasi laut”. “Sejak dulu ada tradisi adat yang dilakukan masyarakat Maluku, yakni ‘sasi laut’, atau menutup wilayah perairan tertentu pada waktu tertentu pula dan akan dibuka kembali sesuai ‘titah negeri’, dan barang siapa yang melanggar akan dikenai sanksi, apalagi sampai merusak ekosistem,” kata Suhendra yang juga Ketua Umum Putra-putri Jawa Kelahiran Sumatera, Sulawesi dan Maluku (Puja Kessuma).
“Sasi laut” di zaman modern ini, jelas Suhendra, dikenal dengan istilah moratorium atau kawasan closed area (area tertutup). Maluku yang dikelilingi tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan Potensial (WPP) 714 (Laut Banda), WPP 715 (Laut Seram) dan WPP 718 (Laut Arafura) memiliki biota laut yang sangat beragam.
“Sebab itu, sudah sepantasnya Maluku dijadikan kawasan lumbung ikan nasional. Salah satu penopang sumber daya laut di Maluku yang masih lestari ialah rata-rata nelayan lokal menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan seperti ‘huhate’, ‘mini purse seine’ dan hand line atau pancing tonda,” jelas Ketua Kelompok Kerja Perancangan Formulasi Peraturan Daerah Nasional 2016 bentukan Kementerian Hukum dan HAM yang merupakan inisiatif Puja Kessuma menyikapi moratorium dari Presiden Joko Widodo terkait ribuan perda bermasalah.
Suhendra pun menawarkan solusi alternatif terkait kebijakan-kebijakan Susi. Peraturan Menteri (Permen) No. 10 Tahun 2015 tentang Perpanjangan Masa Moratorium Eks-Kapal Asing, misalnya, solusi alternatifnya adalah modernisasi alat tangkap yang ramah lingkungan berbasis Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF); pengembangan industri galangan kapal perikanan dalam negeri; pengecekan ulang jenis kapal dan alat tangkap di masing-masing WPP; dan pembentukan forum koordinasi dan kebijakan masing-masing WPP.
Permen No. 57/2015 tentang Penghapusan Transhipment Muatan di Tengah Laut, solusi alternatifnya menurut Suhendra yakni diberlakukan bagi kapal yang hasil tangkapannya langsung diekspor ke luar negeri; peningkatan jumlah observer (pemantau) di kapal-kapal perikanan agar dapat memantau aktivitas penangkapan ikan; dan pengawasan intensif, baik langsung di laut atau pun via satelit.
Permen No. 1/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan, kata Suhendra, solusi alternatifnya ialah meningkatkan usaha budi daya lobster, kepiting dan rajungan; dan meningkatkan harga pasaran lokal dalam negeri.
Permen No. 2/2015 tentang Pelarangan Trawl, Cantrang dan Set Nets di WPP Nasional Republik Indonesia (NRI), lanjut Suhendra, solusi alternatifnya ialah modernisasi alat tangkap berbasis CCRF sesuai karakteristik perairan setempat; penggantian alat tangkap dengan yang ramah lingkungan; pengaturan jumlah kapal dan musim penangkapan; dan izin kapal di atas 30 gross ton (GT) dalam proses moratorium sehingga bisa beroperasi di bawah area 12 mil yang merupakan wilayah kewenangan provinsi.
Permen No. 4/2015 tentang Larangan Penangkapan Ikan pada WPP 714, tutur Suhendra, solusi alternatifnya ialah Kementerian Kelautan dan Perikanan, bekerja sama dengan swasta, saat diberlakukan closed area (Oktober-Desember) harus bisa memberikan bantuan alternatif, di antaranya berupa penyediaan usaha substitusi seperti usaha perikanan budi daya, pariwisata bahari dan industri rumah tangga.
“Karena nelayan pastinya tidak bisa melaut akibat pemberlakuan closed area tersebut,” papar Suhendra yang juga mantan Ketua Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Indonesia-Vietnam bentukan pemerintah RI dan Vietnam ini. (***)