TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus bayi Tiara Deborah karena Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres tidak bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) semakin membuka fakta bahwa selama ini program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih jauh dari memuaskan.
Seharusnya, kematian bayi Tiara Debora tidak terjadi jika pelayanan kesehatan dan JKN bisa memastikan peserta pemegang BPJS mendapat pelayanan kesehatan dengan baik.
Menyikapi peristiwa tersebut, Indonesian Corruption Watch (ICW) bersama 14 organisasi masyarakat sipil melakukan pemantauan program JKN di 54 Fasilitas Kesehatan yang terdiri dari 18 rumah sakit pemerintah, 13 rumah sakit swasta dan 27 Puskesmas di 14 Provinsi.
Adapun, pemantauan itu dilakukan sejak Maret sampai Agustus 2017.
Ke-14 Provinsi yang menjadi lokasi pemantauan yakni Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Baca: Kasus Bayi Debora Nyaris Menimpa Seorang Bayi di Depok, Begini Ceritanya
Dari hasil pemantauan tersebut, ICW mendapati lebih dari 49 temuan kasus fraud/kecurangan program JKN yang dilakukan oleh peserta maupun penyedia layanan kesehatan.
Hal tersebut disampaikan oleh Anggota ICW, Siti Juliantari, saat merilis hasil temuannya di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (14/9/2017).
"kami menemukan ada 49 potensi fraud/kecurangan yang terjadi di fasilitas kesehatan baik yang dilakukan oleh peserta fasilitas kesehatannya sendiri baik ditingkat Puskesmas maupun di Rumah Sakit kemudian dilakukan oleh BPJS kesehatan maupun orang-orang yang terlibat dipengadaan obat dan alat kesehatan," jelas Siti Juliantari.
Selain itu, kata Tari, potensi freud/kecurangan yang perlu diperhatikan adalah terkait pembayaran klaim tagihan rumah sakit pada BPJS Kesehatan.
"Pembayaran ini berpotensi tinggi karena verifikasi klaim dinilai masih memiliki celah terjadinya kecurangan," ungkapnya.
Dia membeberkan kecurangan itu misalnya terjadi pada sisi konsumsi obat, frekuensi tindakan medis atau penggunaan alat kesehatan pada dokumen klaim rumah sakit.
Menurutnya, meski ada tanda tangan pasien pada lembar tagihan rumah sakit, namun BPJS Kesehatan tidak memverifikasi klaim yang diajukan rumah sakit pada pasien.
"Hal itulah yang akan menjadi peluang bagi rumah sakit untuk mark-up konsumsi obat dan alat kesehatan serta tindakan medis," terangnya.