News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

OTT di Batubara

KPK Sebut Bupati Batubara Cs Gunakan Modus Lama

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dan Alexander Marwata saat konferensi pers di kantor KPK terkait operasi tangkap tangan (OTT) di Kabupaten Batubara Sumatera Utara, Jakarta, Kamis (14/9/2017). Dari hasil OTT tersebut, KPK menetapkan lima tersangka yaitu Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen, STR swasta, HH Kepala Dinas PUPR Pemkab Batubara, MAS kontraktor dan SAZ kontraktor serta uang suap sebesar Rp 346 juta dari total Rp 4,4 milyar terkait kasus dugaan suap pekerjaan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Batubara untuk tahun anggaran 2017. TRIBUNNEWS/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang tersangka dalam kasus suap proyek jembatan dan betonisasi di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.

Baca: Sebelum Ditangkap, Bupati Batubara Sudah Dibuntuti KPK Selama Dua Bulan

Komisioner KPK, Basaria Pandjaitan mengatakan lima orang tersangka itu, dua diantaranya adalah Bupati Batubara, OK Arya Zulkarnaen (OK) dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemda, HH.

Kedua tersangka, diduga telah menerima komitmen fee senilai Rp 4,4 miliar dari tiga proyek pembangunan yang dimenangkan oleh kontraktor MAS dan SAZ dengan nilai total Rp 44 miliar.

"Nilai yang diterima ini 10 persen dari total tiga proyek pembangunan. Dua pembangunan jembatan Sentang dan Sembanggung, satu proyek beton jalan," jelasnya di kantor KPK, Jakarta, Kamis (14/9).

Dalam modusnya, kata Basaria, merupakan cara lama, yang banyak dipakai oleh para kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan atau yang dijadikan tersangka atas pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK.

Meski, pemerintah saat ini sudah menerapkan sistem aplikasi lelang secara online, hanya saja, menurut Basaria, masih banyak cara untuk melakukan tindak pidana korupsi.

"Lelang elektroniknya benar, tapi secanggih apapun alat yang buat manusia juga. Ini modus sudah lama, banyak kepala daerah yang menjadi tahanan, memakai modus ini juga," kata dia.

Adapun modusnya adalah tersangka atas nama MAS tidaklah sepenuhnya pengusaha yang memiliki perusahaan PT. GMJ dan PT. T. Dirinya meminjam nama perusahaan untuk memenangkan tender tersebut.

Kemudian dia memberikan janji kepada bupati sebesar 10 persen dari nilai proyek. Dana tersebut kemudian diberikan kepada STR yang merupakan pemilik dealer mobil dan orang kepercayaan OK untuk memegang uang tersebut.

STR, lanjut Basaria, dapat mencairkan dana tersebut sewaktu-waktu kepada OK apabila membutuhkan. Dari tangan STR, KPK mendapatkan uang sebesar Rp 250 juta yang ditaruh di kantong kresek untuk segera diberikan kepada OK melalui KHA.

Saat berada di Kantor Kabupaten Batubara, KPK melakukan penangkapan terhadap OK dan MNR yang merupakan sopir dari istri OK dan menemukan uang sebanyak Rp 96 juta.

"Totalnya Rp 346 juta yang kami dapatkan di TKP. Hanya saja, di rekening STR, masih ada dana tersisa sebanyak Rp 1,6 miliar," tandas jenderal Bintang Dua itu.

Tak Ingin Pindah ke "Kuningan"

Komisioner KPK lainnya, Alexander Marwata mengatakan lembaga antirasuah itu, tidak menginginkan adanya perpindahan kantor Bupati seluruh Indonesia berada di Kuningan atau di kantor KPK.

Kata dia, seluruh aparat pemerintah daerah, sudah seharusnya bertindak bersih dan profesional dari segi apapun, termasuk pelelangan yang sudah dilakukan secara elektronik.

"Kami tidak ingin kantor bupati pindah semua ke Kuningan. Jangan ada lagi kongkalikong dan kolusi antara kepala daerah dengan pengusaha. Percuma saja kalau sistemnya bagus, tetapi masih sekongkol, pasti jebol juga," tegasnya.

Peran Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) harus dikuatkan. Pasalnya, selama ini anggota APIP selalu diangkat dan ditunjuk oleh Kepala Daerah atas dasar suka dan tidak suka.

KPK, lanjut dia, telah meminta kepad Kementerian Dalam Negeri dan instansi lain untuk mengubah reposisi dari anggota APIP agar tidak lagi ditunjuk oleh kepala daerah.

"Kalau kepala daerahnya benar, aparat juga benar, tapi kalau tidak kan, suka-suka mereka untuk angkat anggota APIP," tukasnya.

Selain itu, Alexander mengatakan juga perlu adanya jenjang karir dan rekam jejak yang baik untuk memilih anggota pengawas internal pemerintah tersebut. Jika perlu, lanjut dia, adanya audit dari anggota APIP dari pelbagai lembaga audit seperti BPKP.

Bukan hanya itu, dia menjelaskan, sebaiknya ada sanksi yang diberikan kepada Kejaksaan Negeri dan juga Kapolres setempat, apabila kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi.

Artinya, akan ada ketakutan dan saling menjaga apabila satu diantara perangkat pemerintahan daerah itu, terbukti melakukan kesalahan.

"Paling tidak, ini akan menakutkan bupatinya. Kajari dan kapolres kena sanksi kalau ada yang melakukan tindak pidana. Selama ini kan diberi kompensasi. Pengawasan di daerah harus bisa berjalan secara baik," tukas Alexander.(rio)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini