TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mengkritik pemerintah bukan hal yang baru bagi Dandy Dwi Laksono, mantan produser di SCTV yang kini sibuk membuat film dokumenter.
Reaksi yang ia terima atas kritikannya itu pun bermacam-macam.
Mulai dari serangan di media sosial, hingga diserang melalui produk jurnalistik tandingan.
Ia mencontohkan, saat filmnya yang berjudul 'Samin VS Semen' yang antara lain mengkritik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah keluar pada 2015 lalu, film tersebut dibalas oleh pihak yang pro pabrik semen dengan produk serupa yakni film dokumenter berjudul 'Sikep Samin Semen.'
"Itu lebih baik, apakah perkara Sikep Samin Semen bisa memukul mundur Samin VS Semen, itu kita serahkan ke penonton dan hal ini bagian dari koridor demokrasi," ujarnya kepada wartawan saat konfrensi pers di kantor Alinasi Jurnalis Independen (AJI), Jakarta Pusat, Minggu (17/9/2017).
Baca: AJI: Indonesia Sudah Masuk dalam Darurat Demokrasi
Pada tahun 2014 lalu saat masih menjabat sebagai salah satu pengurus AJI, ia sempat mengkritik media-media arus utama, yang ikut berpihak dalam pagelaran Pemilihan Presiden (Pilpres).
Salah satu pihak yang tidak terima atas kritikannya itu adalah MNC Grup.
"Ditantang debat sama pimrednya, saya ladenin, itu jalannya demokrasi, itulah demokrasi," katanya.
Selain itu ia juga sempat membuat film dokumenter tentang proyek reklamasi di Teluk Jakarta, yang sedikit banyaknya film tersebut menyudutkan Pemprov DKI Jakarta.
Ia juga membuat film tentang penggusuran di DKI Jakarta, yang juga menyudutkan Pemprov DKI Jakarta, yang saat film tersebut keluar pemprov masih dipimpin Basuki Tjahaja Purnama.
Setelah bertahun-tahun mengkritik pemerintah, Dandy Dwi Laksono akhirnya dilaporkan ke Polisi oleh Repdem, yang merupakan organisasi sayap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Tulisannya terkait konflik Rohingya yang juga menyinggung Megawati Sukarnoputri, Presiden RI ke-5 sekaligus Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP.
Dalam tulisannya itu, Dandy Dwi Laksono menjelaskan bahwa Aung San Suu Kyi, penerima nobel perdamaian yang pernah ditindas oleh junta militer di Myanmar, saat ini setelah menjadi pemimpin negara tersebut tidak bisa berbuat banyak atas konflik Rohingya yang terjadi di Rakhine State, Myanmar.