TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute, Agus Harimurti Yudhoyono enggan menyebut pemutaran film sejarah tentang G30S/PKI sebagai pelurusan sejarah.
Karena menurutnya penggunaan frasa pelurusan sejarah bersifat subyektif.
"Saya menolak menyebutnya sebagai pelurusan sejarah, karena pelurusan sejarah menurut siapa saya tidak tahu. Kalau harus diluruskan berarti bengkok, kondisi bengkok itu menurut siapa kita juga tidak tahu, sangat subektif," katanya saat ditemui di Graha Bimasena, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (20/9/2017).
Menurut putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono itu jangan lah pembahasan mengenai peristiwa itu digunakan untuk membuka luka lama dengan mengungkit siapa yang benar, siapa yang salah, dan siapa yang harus bertanggung jawab.
Tetapi pembahasan mengenai sejarah itu harus memiliki tujuan agar sejarah kelam itu tidak terulang dan semakin menguatkan persatuan bangsa.
Baca: Gerindra Meminta Pemerintah Bersikap Objektif Soal Isu PKI
"Jangan ungkap lagi unsur konflik yang membuat bangsa ini tercabik-cabik. Setiap bangsa, termasuk Amerika Serikat juga selalu membuka diskusi untuk sejarah kelam bangsanya."
"Membahas sejarah kelam bukan pantas atau tidak pantas, tetapi bagaimana membentuk pola pikir agar sejarah itu menjadi pembelajaran dan cambuk untuk semakin bersatu memajukan bangsa," ujarnya.