TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Penetapan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka korupsi pengadaan e-KTP dinilai tidak sesuai perundang-undangan.
Undang-undang yang dilanggar yakni UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Sandar Operating Operational (SOP) KPK.
Hakim tunggal praperadilan Cepi Iskandar mengatakan KPK melanggar proses peraturan perundangan dalam menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.
Baca: Tak Semua Permohonan Dikabulkan Hakim, Novanto Tetap Dilarang ke Luar Negeri
Menurut Hakim Cepi, KPK belum melakukan penyidikan untuk menetapkan Setya sebagai tersangka karena Sprindik Novanto baru keluar dan diumumkan pada tanggal yang sama yakni 17 Juli 2017.
"Secara logika hukum termohon harus mempunyai waktu. 17 Juli 2017 untuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka, suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh termohon," kata Cepi saat membacakan pertimbangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9/2017).
Cepi melanjutkan, barang bukti yang digunakan KPK untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka menggunakan barang bukti atau hasil penyelidikan penyidikan milik terdakwa Irman, Sugiharto dan Andi Narogong.
Baca: Hakim yang Kabulkan Praperadilan Setya Novanto Pernah Tangani Kasus Hary Tanoe
Selain itu, hakim menilai KPK juga telah melanggar aturan KUHAP terkait penyitaan.
Setelah memeriksa alat bukti, hakim menilai sebagian dari alat bukti yang dimiliki KPK tidak dapat dijadikn sebagai alat bukti yang sah.
Bukti-bukti tersebut adalah T95 hingga T108.
"Menimbang bahwa alat bukti tersebut telah dipelajari dan tidak disertai dengan berita acara penyitaan," kata Cepi.
Padahal, kata Cepi, sesuai dengan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK bisa melakukan penyitaan atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup tanpa izin ketua pengadilan negeri.
Penyitaan yang dilakukan KPK adalah untuk perkara Irman, Sugiharto dan Andi Narogong.
"Termohon telah melakukan penyitaan berdasarkan Sprindik atas nama Sugiharto, Irman dan Andi Narogong. Melakukan penyitaan mencari dokumen tidak boleh diambil dari perkara orang lain. tidak boleh langsung diambil," kata dia.
Sesuai ketentuan, penyidik baru memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan setelah adanya Sprindik.
Baca: Hotman Paris: Tahun Ini, Saya Target Punya 50 Hotel dan Villa, Semuanya Mewah
Itu berarti, KPK baru bisa melakukan penyitaan mulai dari tanggal 17 Juli 2017 sesuai dengan tanggal terbitnya Sprindik.
Akan tetapi, KPK menetapkan Novanto pada tanggal 17 Juli dan mengeluarkan sprindik pada tanggal yang sama.
Hakim mengatakan memahami tindakan KPK untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Namun dalam proses hukum tersebut, KPK tidak boleh lupa pada ketentuan undang-undang mengenai asa kepastian hukum, keterbukaan, proporsionalitas, akuratif, selektif dan lain-lain.
Dalam putusan tersebut, hakim hanya mengabulkan sebagian.
Sebagian petitum pemohon tidak dikabulkan semisal mengeluarkan Setya Novanto dari tahanan karena yang bersangkutan belum ditahan KPK.