TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Untuk keempat kalinya, Komisi Pemberantasan Korupsi dikalahkan dalam sidang praperadilan melawan tersangka. Jumat (29/9/2017) petang, hakim tunggal praperadilan Cepi Iskandar menyatakan bahwa penetapan tersangka Ketua DPR RI Setya Novanto tidak sah.
Novanto merupakan tersangka dugaan korupsi dalam proyek pengadaan e-KTP. Salah satu pertimbangannya yakni KPK dianggap tidak bisa menggunakan alat bukti yang diajukan berasal dari penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis bersalah melakukan korupsi e-KTP.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, KPK kecewa terhadap putusan praperadilan tersebut.
Menurut dia, putusan praperadilan tersebut menjadi kendala KPK dalam menuntaskan kasus e-KTP. KPK akan mempelajari pertimbangan hakim yang menyatakan penetapan tersangka tidak sah.
"Banyak pihak yang diduga terlibat, telah menikmati indikasi aliran dana dari proyek e-KTP ini. Tentu tidak adil jika dibiarkan bebas tanpa pertanggungjawaban secara hukum," kata Laode.
KPK memberi sinyal akan menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) baru untuk menetapkan kembali Novanto sebagai tersangka.
Dalam kasus e-KTP, Ketua Umum Partai Golkar ini diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus e-KTP. Sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, Novanto diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.
Baca: DPR: KPK Sejak Awal Ceroboh Tetapkan Setya Novanto Sebagai Tersangka
Selain itu, ia diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
Sebelum Novanto, ada tiga tersangka KPK yang dikabulkan permohonan praperadilannya. Berikut riwayat kekalahan KPK dalam praperadilan melawan tersangka:
1. Budi Gunawan
Hakim Sarpin Rizaldi mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Komjen Budi Gunawan yang saat itu menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri, pada Februari 2015.
Ia ditetapkan sebagai tersangka terkait rekening gendut atau tidak wajar. Penetapan itu dilakukan sehari setelah dirinya diumumkan sebagai calon Kapolri.
Budi memulai tren menggugat status tersangka melawan KPK melalui praperadilan. Dalam putusannya, Hakim menganggap penetapan tersangka Budi tidak sah secara hukum.