TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pancasila adalah ideologi bangsa yang didalamnya mengandung nilai-nilai luhur bangsa dan agama dan terbukti mampu menyatukan berbagai keragaman di Indonesia.
Namun itu belum cukup untuk membawa Indonesia menjadi negara yang aman, tentram, adil, dan makmur.
Terbukti masih ada upaya-upaya untuk menggusur Pancasila sebagai dasar negara yang dilakukan pihak-pihak tertentu.
“Nilai-nilai Pancasila itu harus dibumikan untuk memperkuat pemahaman dan pengamalannya di masyarakat. Artinya lima sila yang ada di Pancasila harus diwujudkan dalam kehidupan masyarakat,” ujar Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah, Jakarta, Prof. Dr. Bambang Pranowo, MA, di Jakarta, Selasa (3/10/2017).
Ia menegaskan bila sila-sila Pancasila itu belum terwujud, jangan berharap Indonesia bisa menjadi negara yang damai, adil, dan makmur. Ia mencontohkan sila kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Indonesia.
“Adanya komunitas yang ingin mengganti Pancasila itu karena merasa keadilan belum terwujud. Dimanapun kalau keadilan tidak terwujud, pasti akan mengundang masalah,” tukasnya.
Salah satu contoh, lanjut Bambang, di Australia, bila ada bangunan bertingkat yang tidak bisa dimasuki orang yang menggunakan kursi roda, dipastikan tidak akan mendapatkan izin. Artinya, semua aspek kehidupan harus adil dan berperikemanusiaan.
“Maunya Pancasila itu dibegitukan. Sekarang malah banyak orang menuduh orang lain tidak Pancasila, tapi dia sendiri malah korupsi,” jelas Bambang Pranowo.
Bambang menjelaskan, bahwa nilai-nilai Pancasila dalam kelima sila itu adalah hasil kompromi tokoh-tokoh bangsa, baik dari kaum nasionalis islami dan nasionalis sekuler. Saat sebelum kemerdekaan, terjadi perdebatan antara dua kelompok itu terkait dasar negara. Tapi setelah melalui proses musyawarah, terjadilah kompromi yang akhirnya diberinama Pancasila.
Jadi Pancasila itu adalah kompromi antara kaum nasionalis islami dengan nasionalis sekuler pada waktu itu. Awalnya diusulkan Piagam Jakarta, bahkan Bung Karno dengan menitikkan air mata meminta agar Piagam Jakarta diterima.
Tapi saat itu, ada utusan dari Indonesia Timur yang protes, karena bila Piagam Jakarta disahkan, maka mereka akan menjadi warga negara kelas dua.
Dari situ muncul usulan dihapuskannya tujuh kata di Piagama Jakarta yaitu ‘Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya’. Akhirnya dalam sidang BPUPKI, kalangan islam setuju tujuh kata itu dihapus tapi dengan kompensasi kaa-katanya diubah menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.