TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di Jalan Menjangan, Denpasar, Bali pada September 2002 terdapat sebuah rumah kontrakan yang terus menerus memutar lagu beraliran Rock Barat dengan volume kencang.
Lagu-lagu itu sengaja diputar oleh Imam Samudra, dan terpidana Bom Bali 1 lainnya yang menghuni kontrakan tersebut.
Lagu itu bertujuan untuk menyamarkan adanya perakitan bom yang terjadi selama kurun waktu satu bulan.
Imam Samudra yang memutar lagu itu secara terus menerus sempat diprotes oleh Abdul Matin atau Dul Matin.
Pasalnya, Dul Matin dan terpidana kasus Bom Bali 1 lainnya yang tinggal di kontrakan tersebut tidak mengerti dan risih dengan lagu-lagu tersebut.
Baca: Jokowi Tepati Tiga Janjinya kepada Pemilik Warteg di Depan Masjid Sunda Kelapa
"Menurut Dul Matin, harusnya kami ini khusyuk berdzikir bukan mendengarkan lagu-lagu barat yang tidak kami mengerti. Itulah yang membuat Imam Samudra dan Dul Matin sempat 'konslet'," ucap Ali Imron.
Hal itu terungkap dari Buku "Misi Walet Hitam; Menguak Misteri Dr Azhari," yang ditulis oleh Komjen Pol Arif Wachjunadi (sebelumnya ditulis Irjen Pol Arif Wachjunadi).
Dalam buku setebal 342 halaman tersebut, juga terungkap penyamaran yang dilakukan pelaku Bom Bali 1 lainnya, Idris.
Idris, berperan sebagai orang kaya yang sering menggonta-ganti mobil.
Idris, kala itu, kerap terlihat memakai sebuah kalung dan cincin emas berukuran besar serta bersikap petantang-petenteng.
"Dia juga sering memberikan uang tips kepada pemilik rental. Sehingga, dia dipercaya pengusaha rental," kata Arif saat berbincang dengan Tribunnews di Jakarta beberapa waktu lalu.
Idris pula yang berperan sebagai orang yang ramah dengan para tetangga dan juga penghuni kos di lantai dua rumah kontrakan tersebut.
Baca: Anies Naik Motor Patwal ke Balai Kota, Sandiaga Berlari
Dengan begitu, lanjut Arif, persembunyian mereka selama merakit 1,2 ton bahan bom di garasi rumah yang tidak pernah terbuka itu.
"Mereka melakukan penyamaran begitu sempurna. Masing-masing orang memiliki perannya sendiri-sendiri. Jadi, tidak ada yang mengetahui kegiatan mereka selama berada di dalam kontrakan," ucap mantan Kapolda NTB itu.
Ledakan di Rumah Kontrakan
Tidak banyak pemberitaan yang menjelaskan bahwa terdapat sebuah ledakan yang terjadi di rumah kontrakan yang dihuni pelaku Bom Bali 1.
Tepat pada 6 Oktober 2002, terjadi sebuah ledakan yang cukup besar di dalam ruang perakitan bom.
Saat itu, Amrozi membawa bahan bom yang sudah dirakit oleh Dr Azhari bin Husin di dalam filling cabinet.
Namun, Amrozi, tidak membawanya secara benar. Dia menyeret bahan tersebut untuk masuk ke dalam mobil L-300 yang sudah siap di depan garasi.
Bahan bom yang tercecer di lantai tersebut menimbulkan percikan api dan ledakan yang cukup besar.
Ledakan itu kemudian menimbulkan asap dari dalam ruang perakitan, kaca-kaca kontrakan bergetar dan suara ledakan terdengar hingga tetangga.
Baca: Gembong Teroris dr Azahari Tewas Tertembak Peluru Polisi, Bukan Bunuh Diri
Idris, yang saat itu memiliki tugas untuk memperhatikan tetangga dan penghuni kos, langsung mengecek ke luar kontrakan dan banyak tetangga mulai bertanya.
"Dia bilang hanya ada yang konslet saja. Tidak ada lanjutannya. Tetangga kemudian percaya dan membubarkan diri. Padahal, di dalam itu sangat kacau akibat ledakan itu," tutur Komjen Pol Arif Wachjunadi kepada Tribun.
Dr Azhari yang berada di dalam kontrakan tersebut sempat pucat pasi, begitu juga dengan penghuni lainnya.
Mereka, kata Arif, khawatir kejadian itu menjadi bahan perbincangan dan rencana eksekusi pengeboman di Sari Club dan Paddy's Cafe terbongkar.
Tidak lama, semua pelaku Bom Bali 1 yang berada di dalam rumah akhirnya dievakusi di sebuah wisma penginapan di dekat kontrakan.
Serta terus memantau kegiatan yang berada di sekitar kontrakan tersebut.
"Setelah dua hari, mereka merasa aman, kemudian kembali ke kontrakan untuk melanjutkan perakitan," kata dia.
Sulit Kumpulkan Data
Komjen Pol Arif Wachjunadi yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Utama Lemhanas itu, membeberkan kesulitannya untuk mengumpulkan data mengenai kronologi Bom Bali 1.
Setidaknya selama dua tahun, dia melakukan safari dari rumah ke rumah keluarga pelaku, bertemu pelaku di lembaga pemasyarakatan hingga meminta data dari forensik Polda Bali.
"Semua sulit. Tidak mudah bagi saya untuk mengumpulkan data-data dan wawancara kepada para pelaku dan keluarga pelaku," ucapnya.
Belum lagi, dia juga harus menemui beberapa informan "bawah tanah" yang disembunyikan para pelaku dan juga aparat kepolisian demi pengungkapan kronologi tersebut.
Baca: Firzha Hendratno Ditemukan Tewas dalam Mobil yang Direntalnya, Lehernya Terlilit Lakban
"Saya juga wawancara mereka itu harus runut untuk kepentingan kronologi. Kalau seketika tidak pas, saya harus ulang dari awal. Di situ sulitnya," tutur dia.
Begitu juga saat dia menunggu para pelaku kembali ke Indonesia dan mematuhi Pancasila. Sehingga mudah untuk mengorek informasi.
"Betapa sulitnya saya untuk mewawancara beberapa pelaku itu masih ditemukan karena mereka belum mengakui Indonesia," ujarnya.
Belum lagi, dia menceritakan harus kembali melakukan rekonstruksi ulang sesudah buku tersebut selesai demi pengungkapan kebenaran.
Namun begitu, tugasnya sebagai Sestama Lemhanas dan menulis buku "Misi Walet Hitam; Menguak Misteri Dr Azhari," dapat rampung setelah dua tahun mengumpulkan data dan menulis. (rio)