TRIBUNNEW.COM, JAKARTA - Hasil pemeriksaaan Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) terhadap PT Freeport Indonesia terkait potensi kerugian yang ditimbulkan dari penundaan berkepanjangan pembangunan smelter dan rekomendasi ekspor yang terus diberikan memperlihatkan kelemahan pemerintah dalam hal menegakkan kepatuhan korporasi pertambangan terhadap UU Minerba.
Sikap ini terus akan menjadi preseden dalam memperlakukan perusahaan-perusahaan tambang yang diperbolehkan ekspor mineral mentah, tetapi tidak kunjung membangun smelter.
Hal ini bakal menyebabkan kerugian yang berkepanjangan.
Manager Advokasi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho mengatakan, hasil audit BPK tersebut sebenarnya merupakan akibat dari sikap tidak konsisten pemerintah berhadapan dengan korporasi pertambangan dalam hal larangan ekspor dan pembangun smelter.
UU Minerba sudah mewajibkan perusahaan tambang di Indonesia tidak diperbolehkan mengekspor mineral mentah dan konsentrat, dan beralih membangun smelter untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.
Tetapi, ketentuan ini terus menerus dilanggar oleh pemerintah sendiri dengan menerbitkan berbagai aturan pelonggaran yang pada akhirnya merugikan kepentingan nasional.
Baca: Jangan Beri Rekomendasi Ekspor Mineral Mentah Perusahaan yang Belum Punya Smelter
“Hasil audit BPK telah menunjukkan nalar yang seharusnya dari sistematika legal pertambangan di Indonesia, bahwa tidak boleh ada lagi ekspor mineral mentah dan konsentrat, dan bahwa perusahaan tambang harus membangun smelter. Itu yang diwajibkan oleh UU, atau sebaliknya pemerintah menanggung potensi kerugian tersebut,” ujar dia beberapa waktu lalu.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, Presiden Jokowi harus memperhatikan dan menindaklanjuti hasil audit yang sudah dilaporkan BPK terkait dengan dampak relaksasi ekspor dan pembangunan smelter dari beberapa perusahaan, termasuk Freeport yang tidak kunjung direalisasikan.
“Ada pelanggaran terhadap UU yang berpotensi merugikan negara karena pemerintah tidak taat pada ketentuan yang sudah diatur oleh UU Minerba,” katanya.
Baca: Marwan Batubara: Petroleum Fund dan Dana Stabilitas BBM Berbeda
Marwan menambahkan, sikap pemerintah dalam menindaklanjuti hasil audit BPK tersebut sangat ditunggu mengingat sebentar lagi Indonesia akan memasuki tahun politik, menuju pada pemilihan presiden periode berikut.
Berbagai aturan bisa menjadi sangat mudah direvisi untuk kepentingan tertentu jelang pilpres daripada memilih untuk melaksanakan dengan konsisten.
Apalagi, Indonesia dan Freeport saat ini tengah intens melakukan negosiasi terkait kelanjutan investasi perusahaan tersebut di Indonesia.
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017 BPK terhadap Freeport, terjadi potensi kerugian dari penerimaan iuran tetap dan royalti selama tahun 2009-2015 senilai US$ 445,96 juta.
Seharusnya Freeport sudah menyesuaikan ketentuan tarif sesuai pasal 169 UU Nomor 4 tahun 2009 paling lambat 1 tahun. Namun baru disesuaikan pada tahun 2014 melalui MoU tanggal 25 Juli 2014.
Freeport juga wajib membangun smelter paling lambat lima tahun sejak UU Minerba berlaku atau paling lambat Januari 2014 tetapi smelter tersebut tidak kunjung terealisasi.
Perusahaan tersebut bahkan bisa mengekspor konsentrat karena mendapat rekomendasi ekspor.
Freeport juga disebut melakukan ekspor konsentrat selama kurun waktu embargo periode Januari-Juli 2014. BPK menyebutkan Freeport mengirim konsentrat sebanyak tujuh invoice dengan berat 10.122,186 ton.