Lebih dari itu, mengandung simbol-simbol yang selama ini telah terbukti menjamin keberlangsungan kebersamaan dan toleransi di Indonesia.
Namun bila melihat hari ini, kat Fajar, toleransi yang sesungguhnya merupakan kearifan lokal tersebut nyatanya kian tergerus.
Baca: Polisi Akan Periksa Pemilik Pabrik Petasan Setelah Pulang dari Malaysia
“Suatu paradoks, 40 tahun lalu di mana masyarakat kita mungkin masih banyak yang ‘buta huruf’, umumnya justru lebih toleran dan berkebudayaan adiluhung. Apa sarananya?" tanyanya.
Menurutnya, teater, wayang, tutur dan kitab kuning, kidung, pantun, syair.
Hal-hal ini menjadi sarana di mana nilai-nilai luhur dan agama diajarkan melalui simbolisme yang canggih.
Kini sebaliknya, sebagian besar orang melek huruf, tetapi kecanggihan kulturalnya justru surut.
Mereka tidak lagi mengenyam intisari simbolis dari ajaran-ajaran lama.
Sebagai gantinya, mereka merangkul tafsir harfiah atas agama yang sempit, mutlak, dan non-simbolis.
"Akibatnya ada di depan mata, matinya simbolisme tradisional yang diikuti dengan kebangkitan konservatisme, menilai dengan kacamata hitam-putih. Kemodernan tidak lagi menghasilkan pencerahan, melainkan penyeragaman,” papar Fajar.
Fajar kemudian menyoroti mengenai ketiadaan UU mengenai pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat di Indonesia.
Sampai sejauh ini, RUU tersebut masih berada dalam Program Legislasi Nasional 2017 setelah sejak 2012 diperjuangkan.
Menurut Fajar, bila RUU ini berhasil diterbitkan sebagai UU, maka ini akan melengkapi konstitusi yang telah kita pakai selama 72 tahun.
“Masyarakat adat adalah bagian yang penting dari masyarakat kita karena mereka sudah ada sebelum negara ini dibangun,” ucap Fajar.