News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Try Sutrisno Bicara Amandemen UUD 1945, Ini Katanya

Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat Nonton Bareng film I Leave My Heart In Lebanon di XXI Epicentrum, Jakarta Selatan, Kamis (15/12/2016). Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bersama Mantan Wakil Presiden RI Tri Sutrisno terlihat diantara para prajurit TNI yang tengah menonton film I Leave My Heart In Lebanon. Tribunnews/Jeprima

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah menurut mantan Wakil Presidenn RI Try Sutrisno.

Ia menganggap demikian, karena ada sejumlah pasal di UUD 1945, yang memungkinkan perubahan.

Aturan itu, salah satunya dimanfaatkan saat mengamandemen UUD 1945, pascareformasi 1998.

Dalam kuliah umumnya di Para Syndicate, Jakarta Selatan, Kamis (26/10/2017), Try Sutrisno yang lengser dari jabatan Wakil Presiden, beberapa bulan sebelum Presiden RI ke 2 Suharto lengser, mengaku antusias dengan gagasan amandemen.

Saat itu yang mengusulkan amandemen, adalah mereka yang mengaku reformis.

"Memberantas KKN, ingin menghidupkan demkrasi, dwifungsi ABRI (sekarang TNI) bubar, silahkan," ujarnya.

Saat itu banyak yang menyebut UUD 1945 adalah sesuatu yang sudah usang, dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.

Baca: Inilah Pesan Tri Sutrisno Kepada Gatot Nurmatyo Sebelum Pensiun dari TNI

Oleh karena itu para pendukung gagasan amandemen, menganggap UUD 1945 harus disesuaikan dengan situasi kekinian. Alhasil, sejak tahun 1999 sampai tahun 2002, UUD 1945 empat kali diubah.

"Proses (amandemen) itu cuma ketok palu, lalu besoknya dikeluarkan peraturan untuk mengecek amandemen itu. Kalau di luar negeri, sampai ada tim bertahun-tahun menyusun, lalu diserahkan ke wakil rakyat," katanya.

Salah satu amandemen yang ia sesalkan, adalah pengubahan untuk memastikan Presiden RI hanya menjabat maksimal dua kali masa jabatan.

Hal itu untuk mengantisipasi status presiden RI seumur hidup Presiden RI Sukarno, dan masa jabatan selama 32 tahun yang dijalani Presiden RI ke dua, Suharto.

"Negara yang mantab, itu dua kali (masa jabatan Presidennya), tapi kenapa harus nembak undang-undang dasar, kan cukup dibuat undang-undang khusus tentang presiden," ujarnya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini