Selainn itu amandemen juga menghadirkan pemilihan langsung, baik untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), maupun pemilihan presiden.
Ternyata gagasan tersebut menghadirkan dampak buruk, yakni ongkos politik.
Seorang kandidat untuk menang, ia harus memiliki uang yang banyak.
Konsekuensinya, setelah menang, ia harus menebus uangnya yang sudah habis, termasuk dengan cara korupsi.
"Mau jadi bupati, tahu nggak ongkosnya, kira kira tiga puluh miliar, kalau jadi Gubernur, seratus miliar," katanya.
"Ada bupati tidak terpilih, akhirnya bunuh diri. Mungkin dia tidak bisa bayar utang, lebih baik bunuh diri. Tapi kalau dia terpilih, duit (untuk bayar utang) dari mana, ya tentu korupsi," ujarnya.
Selain itu, negara juga ikut keluar uang.
Selama Indonesia menerapkan sistem pemilihan langsung, ia menyebut sudah sekitar Rp 150 triliun uang negara habis.
Hal itu antara lain untuk memfasilitasi setiap orang yang punya hak pilih.
Jika tidak ada pemilihan langsung, uang itu tentunya bisa dialokasikan untuk hal lain, seperti pembangunan atau bantuan kesehatan.
"Belum lagi dampak lainnya jadi kubu-kubuan, seperti Pilkada DKI kemarin, ada kubunya Ahok dan kubu lain," katanya.
Di ujung kuliah umumnya, Tri Sutrisno mengingatkan, bahwa saat cita-cita demokrasi untuk mensejahterahkan rakyat Indonesia, belum juga terpenuhi, walaupun berkali-kali UUD 1945 diubah.
Ia mengingatkan, masih ada rakyat yang hidup tidak sejahtera.