Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah menurut mantan Wakil Presidenn RI Try Sutrisno.
Ia menganggap demikian, karena ada sejumlah pasal di UUD 1945, yang memungkinkan perubahan.
Aturan itu, salah satunya dimanfaatkan saat mengamandemen UUD 1945, pascareformasi 1998.
Dalam kuliah umumnya di Para Syndicate, Jakarta Selatan, Kamis (26/10/2017), Try Sutrisno yang lengser dari jabatan Wakil Presiden, beberapa bulan sebelum Presiden RI ke 2 Suharto lengser, mengaku antusias dengan gagasan amandemen.
Saat itu yang mengusulkan amandemen, adalah mereka yang mengaku reformis.
"Memberantas KKN, ingin menghidupkan demkrasi, dwifungsi ABRI (sekarang TNI) bubar, silahkan," ujarnya.
Saat itu banyak yang menyebut UUD 1945 adalah sesuatu yang sudah usang, dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.
Baca: Inilah Pesan Tri Sutrisno Kepada Gatot Nurmatyo Sebelum Pensiun dari TNI
Oleh karena itu para pendukung gagasan amandemen, menganggap UUD 1945 harus disesuaikan dengan situasi kekinian. Alhasil, sejak tahun 1999 sampai tahun 2002, UUD 1945 empat kali diubah.
"Proses (amandemen) itu cuma ketok palu, lalu besoknya dikeluarkan peraturan untuk mengecek amandemen itu. Kalau di luar negeri, sampai ada tim bertahun-tahun menyusun, lalu diserahkan ke wakil rakyat," katanya.
Salah satu amandemen yang ia sesalkan, adalah pengubahan untuk memastikan Presiden RI hanya menjabat maksimal dua kali masa jabatan.
Hal itu untuk mengantisipasi status presiden RI seumur hidup Presiden RI Sukarno, dan masa jabatan selama 32 tahun yang dijalani Presiden RI ke dua, Suharto.
"Negara yang mantab, itu dua kali (masa jabatan Presidennya), tapi kenapa harus nembak undang-undang dasar, kan cukup dibuat undang-undang khusus tentang presiden," ujarnya.
Selainn itu amandemen juga menghadirkan pemilihan langsung, baik untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), maupun pemilihan presiden.
Ternyata gagasan tersebut menghadirkan dampak buruk, yakni ongkos politik.
Seorang kandidat untuk menang, ia harus memiliki uang yang banyak.
Konsekuensinya, setelah menang, ia harus menebus uangnya yang sudah habis, termasuk dengan cara korupsi.
"Mau jadi bupati, tahu nggak ongkosnya, kira kira tiga puluh miliar, kalau jadi Gubernur, seratus miliar," katanya.
"Ada bupati tidak terpilih, akhirnya bunuh diri. Mungkin dia tidak bisa bayar utang, lebih baik bunuh diri. Tapi kalau dia terpilih, duit (untuk bayar utang) dari mana, ya tentu korupsi," ujarnya.
Selain itu, negara juga ikut keluar uang.
Selama Indonesia menerapkan sistem pemilihan langsung, ia menyebut sudah sekitar Rp 150 triliun uang negara habis.
Hal itu antara lain untuk memfasilitasi setiap orang yang punya hak pilih.
Jika tidak ada pemilihan langsung, uang itu tentunya bisa dialokasikan untuk hal lain, seperti pembangunan atau bantuan kesehatan.
"Belum lagi dampak lainnya jadi kubu-kubuan, seperti Pilkada DKI kemarin, ada kubunya Ahok dan kubu lain," katanya.
Di ujung kuliah umumnya, Tri Sutrisno mengingatkan, bahwa saat cita-cita demokrasi untuk mensejahterahkan rakyat Indonesia, belum juga terpenuhi, walaupun berkali-kali UUD 1945 diubah.
Ia mengingatkan, masih ada rakyat yang hidup tidak sejahtera.