TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terlalu mengada-ada dan bentuk penghindaran dari tanggung jawab hukum warga negara untuk memenuhi panggilan aparat penegak hukum, jika KPK harus kantongi izin dari Presiden untuk panggil Ketua DPR, Setya Novanto.
Demikian menurut pegiat antikorupsi, Hendrik Rosdinar kepada Tribunnews.com, Senin (6/11/2017).
Karena menurut Hendrik Rosdinar, terkait izin Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 245 UU MD3 dan putusan MK, perlunya izin Presiden hanya untuk pidana umum.
Lebih lanjut Hendrik Rosdinar menjelaskan ada tiga pengecualian terkait prosedur izin Presiden tersebut, salah satunya adalah pidana khusus.
"Korupsi adalah pidana khusus, sehinga KPK tidak perlu meminta izin kepada Presiden," ujar Manajer Advokasi Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (YAPPIKA) tersebut kepada Tribunnews.com.
"Jadi surat jawaban dari Setjen DPR tersebut tidak mendasar," katanya.
Baca: Pemanggilan Setya Novanto Tak Perlu Izin Presiden
Karena itu ia menilai alasan harus adanya izin Presiden merupakan bentuk penghindaran dari tanggung jawab hukum warga negara untuk memenuhi panggilan penyidik KPK.
Setya Novanto dipastikan hari ini, Senin (6/11/2017) tidak memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka Dirut PT Quadra Solutions, Anang Sugiana Sudihardjo (ASS).
Ketidakhadiran Setya Novanto ini diketahui lantaran KPK menerima surat tertanggal 6 November 2017 dari Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR yang ditandatangani Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR, Damayanti.
Dalam surat tersebut Sekjen DPR menyatakan, Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan penyidik KPK.
Sekjen DPR berdalih pemeriksaan terhadap Setya Novanto sebagai Ketua DPR harus berdasar izin Presiden.
Menurutnya itu sesuai dengan ketentuan Pasal 254 ayat (1) UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyebut 'Pemanggilan dan Permintaan Keterangan untuk Penyidikan terhadap Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden'.
"Surat tersebut menyampaikan lima poin yang pada pokoknya menyatakan Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan KPK sebagai saksi karena menurut surat tersebut panggilan terhadap Setya Novanto harus dengan izin tertulis dari Presiden RI," ujar Febri.
Alasan Sekjen DPR ini terasa janggal oleh banyak pihak. Hal ini lantaran Pasal 245 ayat (3) menyatakan, ketentuan sebagaimana Pasal 245 ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus.(*)