News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pimpinan KPK Dipolisikan

Mengacu Undang-Undang Tipikor, ICW Sebut Bareskrim Bisa Tangguhkan Perkara 2 Pimpinan KPK

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Febri Hendri.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jikapun ada dugaan tindak pidana yang dilakukan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perkara tersebut dapat ditangguhkan hingga penanganan perkara dugaan korupsi e-KTP selesai.

Demikian menurut Kordinator Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri kepada Tribunnews.com, Jumat (10/11/2017).

Baca: BREAKING NEWS: KPK Umumkan Setya Novanto Kembali Menyandang Status Tersangka Korupsi e-KTP

"Dengan dasar UU Tipikor (pasal 25) Bareskrim Polri bisa mengesampingkan laporan tersebut," ujar Febri Hendri.

Untuk itu, menurut ICW, penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK harus melakukan koordinasi demi menyelesaikan perkara ini dan kepentingan pemberantasan korupsi yang lebih besar.

"KPK meneruskan proses hukum terhadap perkara e-KTP, termasuk proses hukum terhadap Setya Novanto," jelasnya.

Sebagaimana diketahui dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, dilaporkan ke Bareskrim Polri.

Baca: Menteri Kesehatan Sapa Peserta Cek Kanker Serviks di DPP Nasdem

Dasar pelaporan tersebut adalah terbitnya sejumlah surat oleh KPK, termasuk surat permintaan cegah ke luar negeri terhadap Ketua DPR Setya Novanto.

Keduanya juga dianggap menyalahgunakan wewenang dengan terbitnya surat tersebut.

ICW melihat pokok permasalahan dalam surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) terhadap 2 komisioner KPK adalah, surat pemintaan larangan bepergian keluar negeri untuk Setya Novanto yang dikeluarkan setelah putusan praperadilan.

Baca: Pria Ini Bunuh dan Makan Satu Organ Tubuh Pacarnya

Menurut Kordinator Investigasi ICW, Febri Hendri, KPK memiliki kewenangan untuk memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri.

Febri Hendri pun menegaskan, pelaksanaan terhadap kewenangan tersebut tidak bisa dipidana karena pencabutan status tersangka seseorang.

Karena, kewenangan tersebut bisa dijalankan sejak tahap penyelidikan, yang artinya bisa diterapkan kepada siapapun sepanjang dibutuhkan guna pentingan penyelidikan termasuk saksi.

Argumentasi ini kata dia, bisa merujuk pada pasal 16 ayat 1 huruf b dalam UU 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, pejabat imigrasi bisa menolak orang keluar negeri salah satu alasannya karena diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang.

Baca: Saut Situmorang Sebut Surat Pencegahan Setya Novanto Bukti Sistem di KPK Bekerja

"Pencegahan terhadap Setya Novanto sudah sesuai Undang-Undang, baik dari sisi kewenangan KPK maupun kewenangan Keimigrasian," ujarnya.

Ia menjelaskan, salah satu mandat KPK dalam UU 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Dalam melaksanakan tugas tersebut, KPK juga dibekali kewenangan untuk memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri. Kewenangan ini diatur dalam pasal 12 ayat 1 huruf b.

Terkait dengan pencegahan ke luar negeri, lebih lanjut diatur Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Secara definisi, berarti larangan sementara terhadap orang untuk keluar dari Wilayah Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian atau alasan lain yang ditentukan oleh undang-undang.

Menteri berwenang dan bertanggung jawab melakukan Pencegahan yang menyangkut bidang Keimigrasian.

Menurut pasal 91 ayat 2 huruf d, yang pada intinya menjelaskan bahwa salah satu dasar Menteri melaksanakan adalah perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Secara teknis, pelaksanaan atas keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dilakukan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk. Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut namanya tercantum dalam daftar Pencegahan.

Selain itu menurutnya, Praperadilan tidak mengabulkan permohonan pencabutan status pencegahan Setya Novanto.

"Pencabutan status pencegahan Setya Novanto karena tidak masuk dalam objek praperadilan," jelasnya.

Berdasarkan amar putusan, imbuhnya, hakim tidak mengabulkan permohonan Praperadilan Setya Novanto perihal pencabutan penetapan pencegahan terhadap dirinya.

Menurut Hakim, Praperadilan merupakan kewenangan administrasi dari pejabat administrasi yang mengeluarkan penetapan tersebut (penetapan dikeluarkan oleh Keimigrasian).

Selain itu, argumentasi ini bisa dikuat dengan penjelasan apa saja yang masuk dalam objek praperadilan. Berdasarkan pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), objek praperadilan adalah:

Pertama, sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

Kedua, ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Paska putusan MK, objek praperadilan bertambah yaitu keabsahan dan penetapan tersangka seseorang (putusan perkara nomor 21/PUU-XII/2014) dan SPDP tidak dilakukan pemberitahuan kepada penuntut umum, maka penyidikan harus dianggap batal demi hukum (putusan perkara Nomor 130/PUU-XIII/2015.

"Jika merujuk pada KUHAP maupun putusan MK, pencabutan status cegah tidak termasuk dalam objek praperadilan," tegasnya.

Terakhir terkaitv prioritas penanganan perkara. Menurutnya, kondisi KPK yang mendapatkan pelaporan balik atas perkara yang ditangani merupakan sesuatu yang terus berulang dan tidak bisa dihindari.

Pada perkara ini, KPK sedang menangani perkara EKTP yang yang melibatkan banyak pihak. Pada waktu yang bersamaan, KPK dilaporkan karena dituduh melakukan perbuatan pidana lainnya (pidana umum).

Permasalah ini sebenarnya sudah terjawab dengan ketentuan UU Tipikor Nomor 31/99 jo 20/2001). Menurut pasal 25, Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.

Itu artinya, jika ada perkara korupsi yang sedang ditangani, sebaiknya dijadikan prioritas oleh penegak hukum dan tidak diinterupsi oleh perkara lainnya seperti tindak pidana umum.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini