TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ternyata ada landasan moral bagi Setya Novanto mundur dari jabatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pasca dirinya menjadi tersangka dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan korupsi kasus E-KTP.
Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, landasan moral Setya Novanto mundur dari Ketua DPR RI bisa merujuk pada Tap MPR-RI nomor VI tahun 2011.
Sebab, kata dia, sebagaimana disampaikan mantan Ketua MK Mahfud MD pada acara ILC, Rabu (22/11/2017), bahwa Ketetapan MPR-RI Nomor VI Tahun 2001, tentang Etika Kehidupan Berbangsa, yang masih berlaku, memuat bahwa pejabat negara yang mendapat sosrotan publik karena tingkah laku dan kebijakannya, mundur dari jabatannya tanpa menunggu keputusan pengadilan.
"Pernyataan ini sangat jelas dan tegas tidak perlu multitafasir. Kecuali memang tidak ada keinginan Setya Novanto sama sekali mudur dari jabatan Ketua DPR RI sekalipun sudah menyandang status tersangka dari KPK terkait dengan dugaan korupsi kasus E-KTP," ujar Emrus kepada Tribunnews.com, Jumat (24/11/2017).
"Itu semua berpaling pada pertimbangan moral dari Setya Novanto itu sendiri. Diserahkan saja pada yang bersangkutan," tambahnya.
Baca: Setya Novanto Enggan Komentari soal Putrinya yang Tidak Memenuhi Pemeriksaan KPK
Sebelumnya Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, Agung Laksono, berharap Setya Novanto legawa mengundurkan diri sebagai Ketua DPR RI.
Hal itu menyusul status Novanto yang kini ditahan KPK.
Mengundurkan diri, menurut Agung, lebih elegan ketimbang diberhentikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
"Mungkin ada kesadaran Ketua DPR untuk mundur dari jabatan Ketua DPR, dengan demikian tidak ada sejarahnya Ketua DPR diberhentikan," kata Agung seusai acara diskusi di Sekretariat PPK Kosgoro 1957, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (22/11/2017).
Ia menambahkan, DPR memiliki otoritas sendiri dan terdiri dari fraksi lain selain Partai Golkar. Desakan-desakan dari fraksi lain, menurut dia, berada di luar kewenangan Golkar. Sehingga hal itu harus diantisipasi.
"Desakan-desakan fraksi di luar Golkar di luar kewenangan kami. Kami kan hanya bisa mengimbau dan menugaskan fraksi sendiri tapi tidak bisa memerintahkan fraksi yang lain," tutur mantan Ketua DPR RI itu.
Setya Novanto ditahan di Rutan KPK pada Senin (20/11/2017) dini hari. Dalam kasus korupsi proyek e-KTP ini, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut, negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek Rp 5,9 triliun tersebut.
Meski berstatus tahanan KPK, namun Partai Golkar masih mempertahankan Novanto sebagai ketua umum dan menunggu hasil praperadilan yang diajukan Novanto.