TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Komunikasi Politik Nasional dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai tidak ada relevansinya penyelenggaraan Munaslub setelah melihat hasil praperadilan.
Menurut Direktur EmrusCorner tersebut, pandangan demikian bisa menimbulkan spekulasi makna bahwa seolah ada relasi sosiologis antara Partai Golkar dengan perilaku Ketua Umum Setya Novanto yang diduga terlibat tindak pidana korupsi kasus E-KTP.
Karena itu, pandangan tersebut, tegas Emrus Sihombing, pandangan tersebut perlu direnungkan mendalam. Sebab, pesan komunikasi politik yang dilontarkan aktor politik sebenarnya sekaligus menjelaskan posisi politiknya dalam suatu "pertarungan" politik.
"Dengan kata lain, pesan komunikasi politik sarat dengan muatan kepentingan politik," kata Emrus Sihombing kepada Tribunnews.com, Senin (4/12/2017).
Menurut dia, seharusnya munaslub tidak boleh dikaitkan dengan hasil praperadilan Setya Novanto.
"Sejatinya Munaslub harus dilihat sebagai kebutuhan memperbaiki citra Partai Golkar karena penilaian masyarakat yang kurang produktif yang bertebar di berbagai sosial media dan ekektabilitas Golkar yang menurun berdasarkan hasil survey oleh sebuah lembaga survey pekan ini," ujarnya.
Baca: Mahyudin: Airlangga Calon Kuat Ketua Umum Golkar
Dari aspek komunikasi pemasaran politik, lebih lanjut kata dia, Munaslub yang menghasilkan tim kepemimpinan baru sebagai titik awal yang sangat baik me-rebranding Partai.
Selain itu, kata dia, dugaan Setya Novanto terlibat kasus korupsi E-KTP sebagai tindakan personal, tidak ada kaitan dengan partai.
"Sejauh ini saya belum melihat ada korelasi antara dugaan korupsi yang melibatkan nama Setya Novanto dengan Partai Golkar,"katanya.
Oleh karena itu, tegas dia, jika Munaslub dikaitkan dengan hasil praperadilan, maka bisa menimbulkan berbagai persepsi yang kurang produktif terhadap Partai Golkar.
"Jadi, Munaslub gawenya Partai Golkar, praperadilan urusan pribadi Setya Novanto. Jika dikaitkan, Partai Golkar yang rugi dari persepsi publik," ujarnya.