Laporan wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua lembaga peradilan di Indonesia yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menunjukkan wajah buramnya terkait pemberantasan korupsi.
Bagaimana tidak, para hakim dari kedua institusi tersebut ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di Mahkamah Kontitusi, publik digemparkan oleh penangkapan Patrialis Akbar pada 26 Januari 2017.
Baca: Komnas PA Catat 63 Persen Dari 1.688 Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Orang Dekat
Bekas menteri hukum dan hak asasi manusia (HAM) itu ditangkap lantaran menerima suap terkait uji materi atau judicial review Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait kuota daging impor.
Publik belum lupa kasus Patrialis, Ketua MK Arief Hidayat kembali membuat ulah.
Dia telah dilaporkan dua kali ke Dewan Etik karena bertemu dengan anggota DPR RI yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dia sebagai hakim konstitusi.
Baca: ICW Sebut Presiden Jokowi Galau Dalam Menjalankan Agenda Pemberantasan Korupsi
Pertemuan yang terjadi di hotel itu disebut untuk mengamankan kedudukan Arief Hidayat karena masa jabatannya sebagai hakim MK akan habis pada awal 2018.
Arief diduga melobi DPR untuk memilihnya kembali dan membarternya dengan putusan yang akan menguntungkan DPR RI terkait uji materi UU MD3 yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil.
Baca: ICW: Partai Politik dan DPR Tidak Berkontribusi Positif Terhadap Pemberantasan Korupsi
"Kalau kita lihat pada akhir Nopember kemarin yang bersangkutan diduga melakukan lobi politik ke beberapa partai politik dan politisi untuk mempertahankan posisinya sebagai satu-satunya perwakilan dari DPR dan sekaligus mempertahankan statusnya sebagai hakim konsttusi," kata peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lalola Esther, saat acara Catatan Akhir Tahun ICW 2017 di Kalibata, Jakarta, Kamis (27/12/2017).
ICW, kata Lalola, menilai sikap tersebut sangat menciderai integritas seorang hakim lembaga yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk menafsirkan UUD 1945.