Blok Mahakam menjadi “hadiah tahun baru” untuk rakyat Indonesia. Terhitung 1 Januari 2018, secara resmi pengelolaannya beralih ke Pertamina. Sebelumnya selama 50 tahun blok kaya minyak dan gas itu dikelola oleh perusahaan Prancis Total Indonesie dan perusahaan Jepang Inpex.
Pengamat ekonomi energi UGM Fahmy Radhi mengingatkan, Blok Mahakam akan melejitkan kinerja keuangan Pertamina, sehingga tidak boleh ada keluhan lagi terhadap penugasan pemerintah. Namun jangan sampai setelah dikelola Pertamina produksi migas blok tersebut malah anjlok.
Yang harus dilakukan Pertamina, menurut Fahmy Radhi, adalah fokus dan bersungguh-sungguh mengelola Blok Mahakam. Jangan sampai produksi blok tersebut menurun, juga jangan sampai cost recovery yang ditagihkan ke pemerintah naik.
Data dari SKK Migas, contractor’s share Blok Mahakam yang diterima Total dan Inpex tahun 2017 adalah USD 529,646 juta (outlook). Sedangkan untuk 2018, Pertamina Hulu Mahakam (PHM) memproyeksikan contractor’s share sebesar USD 334,5 juta.
“Itu artinya potensi penerimaan negara turun sekitar 30 persen. Ini tidak boleh terjadi. Pertamina harus kerja keras agar produksi minimal tidak turun, sehingga bagian yang diterima kontraktor dan pemerintah minimal tetap,” jelas Fahmy dalam pernyataan tertulis Selasa (2/1/2018).
Penurunan produksi, kata Fahmy, akan jadi preseden yang buruk sekali dalam pengambilalihan blok migas dari tangan kontraktor asing. Hal itu bisa berakibat pemerintah akan berpikir ulang untuk menyerahkan pengelolaan blok migas habis kontrak ke Pertamina.
Hal lain yang menjadi perhatian Fahmy, selama ini Pertamina selalu mengeluhkan beban finansial akibat penugasan BBM Satu Harga, dan terakhir tidak dinaikkannya harga BBM jenis premium, solar, dan minyak tanah. Konon potential loss bisa mencapai Rp 19 triliun.
Kalau memperhitungkan potensi opportunity loss itu secara parsial, Pertamina memang harus menanggung pembengkaan beban finansial.
“Namun, jika Pertamina memperhitungkannya secara komprehensif dengan memperhitungkan potensi keuntungan atas pengelolaan sejumlah blok migas di hulu, utamanya Blok Mahakam, potensi kehilangan keuntungan itu hampir tidak berarti sama sekali,” jelas Fahmy.
Fahmy menguraikan, Blok Mahakam masih menyisakan cadangan sebesar 57 juta barel minyak, 45 juta barel kondensat, dan 4,9 trillion cubic feet (tcf gas). Menurut perhitungan SKK Migas, dengan asset non-cash Blok Mahakam, asset Pertamina akan bertambah kurang-lebih 20 persen, yakni sebesar US$ 9,43 miliar atau sekitar Rp 122,59 triliun.
Adanya tambahan asset sebesar itu, total asset Pertamina kini menjadi US$ 54,95 miliar atau sekitar Rp 714,35 triliun. Asset sebesar itu, akan meningkatkan modal sendiri (equity) Pertamina, dan meningkatkan financial leverage Pertamina hingga 3 kali lipat.
Peningkatan financial leverage itu akan semakin meningkatkan kredibilitas Pertamina dalam memperoleh dana segar (fresh money) dari pihak ketiga, termasuk penerbitan obligasi, untuk capital expenditure (Capex) dan operational expenditure (Opex), baik untuk membiayai operasional Blok Mahakam, maupun Blok Migas lainnya.
Selain itu, urai Fahmy, dengan share down 39 persen saham Blok Mahakam, Pertamina diperkirakan bisa meraup fresh money sebesar US$ 3,68 (39% X US$ 9,43 miliar) atau Rp 47,84 triliun.
Berdasarkan produksi sebelumnya, potensi pendapatan netto, setelah dikurangi cost recovery selama tahun 2018 diprediksikan akan mencapai sebesar US$ 317 juta atau sekitar Rp 4,12 triliun.
“Maka dengan pengelolaan Blok Mahakam, Pertamina memperoleh tambahan asset sebesar Rp 122,59 triliun, fresh money sebesar Rp 47,84 triliun, dan pendapatan netto per tahun sebesar Rp 4,12 triliun,” jelas mantan anggota Tim Pemberantasan Mafia Migas ini.
Fahmy menyarankan, dengan tambahan non-cash asset, cash flow dan pendapatan dari Blok Mahakam, Pertamina tidak sepantasnya selalu mengeluhkan penugasan pemerintah, seperti BBM Satu Harga dan premium serta solar dan minyak tanah yang harganya diputuskan Menteri ESDM Ignasius Jonan tidak naik sampai tiga bulan ke depan.
“Pertamina juga sudah seharusnya bertambah peka dan peduli terhadap rasa keadilan rakyat, dengan mendukung keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga premium, solar, dan minyak tanah hingga triwulan 2018, bahkan sepanjang tahun 2018,” ucap Fahmy tegas.
Setelah Blok Mahakam, Pertamina berpeluang besar mendapat penugasan pemerintah untuk mengelola sejumlah blok yang habis masa kontraknya.
Menurut Fahmy, semua itu bisa dilihat sebagai “kompensasi” dalam bentuk non-cash asset.
“Makanya stop mengeluh. Pertamina tidak perlu khawatir mengalami opportunity loss dalam menjalankan penugasan pemerintah, baik BBM Penugasan, maupun BBM Satu Harga,” ucap Fahmy tegas. (*)