TRIBUNNNEWS.COM, JAKARTA- Majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta menolak seluruh eksepsi atau keberatan tim penasehat hukum terdakwa korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP tahun anggaran 2011-2013 Setya Novanto.
Majelis hakim yang diketuai oleh Yanto mengatakan materi eksepsi tersebut tidak beralasan menurut hukum sehingga harus dikesampingkan.
Berikut adalah pertimbangan lengkap majelis hakim yang menolak eksepsi Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (5/1/2017).
1. Terkait keberatan tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa keberatan tersebut bukan merupakan materi eksepsi sebagaimanan diatur pasal156 ayat 1 KUHAP melainkan merupakan materi praperadilan.
"Demikian pula penetapan seorang tersangka kedua kali hal tersebut lazim dalam praktik peradilan sepanjang sesuai ketentuan hukum yang berlaku," kata hakim anggota Frangki Tambuwun.
2. Kerugian keuangan negara yang tidak nyata dan tidak pasti.
Dalam keberatannya, tim penasehat hukum mengatakan ada selisih nilai kerugian negara dalam perkara sebelumnya yakni perkara Irman dan Sugiharo, serta Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Menurut pihak terdakwa, kerugian keuangan negara ini sesusai dengan perhitungan BPKP berdasarkan laporan hasil audit dalam rangka perhitungan kerugian keuangan negara tanggal 11 Mei 2016.
Kerugian negara tersebut juga tidak memperhitungkan penerimaan uang yakni sebesar 7.300.000 dolar Amerika Serikat yang diterima Oleh Novanto, 800.000 Dolar AS diterima Charles Sutanto dan RP 2 juta untuk Tri Sampurno.
Baca: Jasad Wanita Bercadar di Halaman Masjid Terungkap, Namanya Nurul Khotimah Warga Kedungwaru
Majelis hakim menolak keberatan tersebut karena terkait perbedaan kerugian negara sesuai dengan perhitungan sebagaimana perhitungan dari BPKP sudah memasuki ranah pokok perkara yang nantinya harus dibuktikan pada pokok perkara.
3 Keberatan terkiat tempus dan locus delicti (waktu dan tempat kejadian).
Penasehat hukum Novanto keberatan karena adanya perbedaan waktu kejadian di surat dakwaan Novanto dengan perkara-perkara sebelumnya yakni milik Irman dan Sugiharto, serta Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Tim penasehat hukum menyimpulkan surat dakwaan telah disusun tidak cermat berkaitn tempus dan locus delicti. Maka surat dakwaan tidak sesuai dengan ketentuan dan dakwaan seperti ini adalah batal demi hukum.
"Menimbang bahwa terhadap keberatan tim penasehat hukum, majelis hakim tidak sependapat karena yang diajukan sebagai terdakwa dalam perkara a quo adalah Setya Novanto, bukan Irman Sugiharto dan Andi Agustinus. Sehingga dalam pemeriksaan difokuskan pada pemeriksaan a quo yaitu terdakwa Setya Novanto," kata Hakim Anggota Anwar yang membacakan pertimbangan hakim.
4. Terkait hilangnya nama-nama yang menerima sebelumnya dalam surat dakwaan Setya Novanto.
Nama-nama yang hilang itu antara lain Melchias Mekeng, Olly Dondokambey, Tamsil Lindrung, Mirwan Amir, Arief Wibowo, Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Agun Gunanjar, Mustoko Weni, Ignatius Mulyono, Taufik Effendi, Teguh Juwarno, Rindoko, Abdul Hakim, Jamal Azis, kapoksi komisi II, Khatibul Umam Wiranu, Marzuki Ali dan 37 Anggota Komisi II serta Anas Urabaningrum.
Terkait nama-nama yang tidak lagi disebut itu, majelis hakim berpendapat yang diajukan sebagai terdakwa adalah mutlak kewenangan jaksa penuntut umum.
Oleh karena itu, surat dakwaan tidak serta merta menjadi batal karena tidak dicantumkan sebab itu semua adalah kewenangan dan tanggung jawab jaksa penuntut umum.
"Karena yang diadili adalah perkara Setya Novanto bukan nama-nama yang hilang tersebut maka keberatan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima," kata Hakim Anwar.