TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat diminta untuk lebih selektif, pintar dan cerdas dalam memilih-milih berita baik di media sosial maupun di media online lainnya agar tidak mudah terprovokasi yang dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat.
Hal ini seiring maraknya berita hoax di dunia maya, apalagi menjelang digelarnya Pilkada 2018 dimana berkaca pada Pilkada atau Pilpres di tahun sebelumnya bermunculan berita-berita hoax dan aksi saling membullying di media sosial yang dapat berdampak pada perpecahan di masyarakat.
Peneliti senior dari Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Siti Zuhro, MA, Ph.D, mengatakan bahwa, masyarakat harus melakukan cek dan ricek terhadap berita-berita yang beredar dengan membandingkan media satu dengan media lainnya dengan topik yang sama tapi dari sudut pandang yang berbeda.
“Artinya memang diperlukan kecerdasan dari masyarakat untuk dapat mencerna kebenaran isi berita tersebut seperti masuk akal atau tidak, ada bukti kongrit atau tidak. Memang bahaya sekali kalau berita hoax itu diperbanyak untuk memotivasi yang negatif. Persatuan di masyarakat kita bisa terpecah belah, apalagi menjelang Pilkada seperti tahun-tahun sebelumnya,” ungkap Siti kepada wartawan , Jumat (19/1/2018).
Diakuinya bahwa media sosial selama ini cenderung kurang mencerahkan, walau dalam pengamatannya pada tahun 2013 itu hoax itu tidak muncul secara masif seperti sekarang ini.
Dirinya mengamati selama ini orang dalam berdiskusi, dalam mengemukakan pendapat, opini, komentar ataupun argumen-argumen itu tidak hanya sangat ringan, tetapi lebih mengarah kepada menghujat dengan bahasa-bahasa yang sangat tidak senonoh, kasar dan jauh dari nilai keberadaban bangsa Indonesia.
“Itu sudah mulai sejak 2013-2014, saya konsen sekali mengamati masalah ini. Kenapa kok jauh dari nilai-nilai keberadaban bangsa kita, karena kita inikan memiliki nilai-nilai dan budaya-budaya mulia. Kita ini orang Indonesia asli dalam artian sangat menjunjung tinggi, saling menghargai dan menghormati orang lain,” ujar gelar Ph.D Ilmu Politik dari Curtin University Australia ini.
Wanita kelahiran Blitar, 7 November 1958, telah membaca media sosial yang ada di Jepang ataupun yang ada di Korea Utara yang lalu dibandingkan dengan media sosial yang ada di Indonesia dimana dirinya menilai media sosial di Indonesia tidak menunjukkan harkat dan martabat bangsa. Dimana masyarakat Indonesia ini jauh dari keberadaban yang ada dalam sila ke-2 Pancasila, yakni Kemanusian Yang Adil dan Beradab.
“Dimensi sila kedua itu sudah tidak lekat dengan kita, jadi nilai-nilai yang ada di sila kedua ini sudah sama sekali tidak melekat lagi di masyarakat kita ini. Karena ini terwujud dari tutur kata dan perilaku kita. Tutur kata ini kan ungkapan dari kepribadian kita mengenai apa yang ada di sanubari kita,” ujar peraih gelar MA jurusan Ilmu Politik dari The Flinders University Australia ini.
Menurutya, media sosial di Indonesia ini tidak mengedukasi dimana kita tidak mampu mengekspresikan nilai-nilai keluhuran. Tak hanya itu, pengguna media sosial yang suka menyebarkan hoax itu tidak menunjukkan orang yang sebenarnya karena kadang menggunakan nama samaran lalu dengan menampilkan foto pemilik akun semisal dengan wajah artis dan bahkan gambar binatang dan sebagainya.
“Itu menurut saya yang perlu dibenahi. Jadi media sosial kita itu kan tidak menunjukkan orang yang sebenarnya. Jadi dia bisa jadi orang munafik ketika dia tidak mau menunjukkan jati dirinya. Menggunakan nama samaran, sehingga apapun yang dilempar dengan ungkapan-ungkapan di media sosial itu seolah-olah tidak perlu dipertanggungjawabkan,” tutur wanita yang akrab disapa Wiwieq ini.
Menurutnya, yang paling krusial dan tidak sadari saat ini seperti menghidupkan lagi BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).dan program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila). Namun sayangnya kita tidak konsen dengan substansi dan nilai-nilai sejatinya.
“Substansi nilai-nilai sejatinya itu melalui praktek seperti tutur kata, prilaku dan tindakan. Dalam konteks Indonesia saya berulang kali mengatakan bahwa kita butuh suri teladan baik itu pemimpin kita di birokrasi, di politik, di dunia usaha, para tokoh yang ditokohkan itu, orang yang disohori yang betul betul tersohor, nah itu tidak muncul,” ujarnya.
Dirinya melihat di negara barat, melakukan bully itu adalah tindakan serius baik dari tingkat taman kanak kanak hingga dewasa karena ada detention dan ada punishment. Karena mereka terikat secara hukum karena detention di luar negeri itu kongkrit sekali.
“Kalau ada yang melakukan kesalahan maka akan dihukum. Satu contoh anak yang masih tingkat Toddler itu sudah diajarkan tata krama kepada orang lain. Sedangkan budaya seperti itu di negara kita ini sudah kurang dan hampir hilang, karena tidak ada panutan,” tuturnya..
Diyakininya bahwa masyarakat kita selama ini melakukan tindakan-tindakan yang kurang terpuji dengan melakukan penyebaran hoax dikarenakan penegakan hukum yang masih dirasa lemah. Hal ini menurutnya hukum ini runcing kebawah, tumpul keatas.
“Mereka ini seperti semakin menghina. Karena mereka berasumsi hukum di negeri ini santai saja karena aturannya kurang tegas. Jadi mereka merasakan tidak ada kepastian hukum, masyarakat kita ini tidak merasakan ada keterikatan hukum,” kata alumni FISIP.Universitas Jember jurusan Ilmu Hubungan Internasional.
Dirinya mengatakan bahwa peran pemerintah untuk mengatasi berita berita hoax di media agar persatuan ini tetap terjaga dalam menghadapi tahun politik 2018 ini, tidak punya pilihan lain selain untuk mencerdaskan masyarakat.
Driinya selama ini sangat pro untuk membangun desa cerdas atau Smart Village. Karena di Smart Village akan dilakukan visit education.
“Jadi pendidikan kewarganegaraan, bagaimana menimbulkan ownership. Seperti sebagai warganegara ini lho kita punya empat konsensus dasar, kita hormati Pancasila sebagai landasan hidup kita. Caranya seperti itu. Ini yang harus disampaikan seperti pendidkan yang ada di Jepang kan seperti itu lalu ada budi luhur, budi pekerti. Ada rasa malu, kalau bertutur kata yang berlebihan ada rasa malu,” urainya.
Untuk itu dirinya berharap masyarakat umum tidak menyebarkan hoax di dunia maya dan media sosial agar persatuan kita tetap terjaga, karena sesungguhnya apa yang dilakukan manusia itu akan balik kepada dirinya masing-masing
“Artinya kembali kepada masing-masing punya keyakinan yang terdapat pada sila ke-1 Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Lalu turun ke sila ke-2 Kalau sila ke-1 dihayati dan diamalkan lalu terikat dan diaplikasikan secara konkret di sila kedua dengan memiliki keperadaban yang tentunya untuk persatuan Indonesia,” ujarnya mengakhiri.