TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tidak mudah menempatkan seseorang di rumah aman (safe house). Jika proses hukumnya keliru, terancam dilaporkan atas tuduhan penculikan atau penyekapan.
Apalagi, jika yang ditempatkan di rumah aman itu anak yang memiliki orang tua dengan hak asuh.
Demikian disampaikan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai saat menerima kunjungan Kepala UPT P2TP2A Provinsi DKI Jakarta Silvia dan jajarannya di kantor LPSK, Jakarta, Selasa (20/2-2018).
Pertemuan membahas rencana UPT P2TP2A DKI Jakarta yang akan membentuk rumah aman bagi perempuan dan anak.
Menurut Semendawai, dalam kasus anak yang akan ditempatkan di rumah aman, harus benar-benar memerhatikan proses hukum.
Apalagi, terhadap anak yang masih memiliki orang tua dan hak asuh.
Baca: LPSK Dampingi Saksi dan Fasilitasi Kompensasi
“Orang tua dapat meminta polisi untuk memerkarakan pihak-pihak yang “membawa” anaknya,” ujar Semendawai yang dalam pertemuan itu didampingi Sesjen LPSK Noor Sidharta, tenaga ahli dan beberapa pejabat struktural di lingkungan LPSK.
Semendawai menuturkan, dalam menempatkan saksi dan korban di rumah aman, atau dengan kata lain memberikan mereka perlindungan, LPSK memiliki sejumlah persyaratan, antara lain proses pidana yang melibatkan saksi dan korban tersebut sudah dimulai.
Jadi, LPSK tidak serta-merta dapat melindungi saksi dan korban.
“Harus ada landasan hukum yang kuat untuk menghindari kesalahpahaman atau dilaporkan balik,” katanya.
Rumah aman LPSK, kata dia, terbagi yang permanen dan juga mobile.
Baca: CEO Bali United Beberkan Alasan Timnya Mundur dari Piala Gubernur Kaltim 2018
Rumah aman yang dikelola beragam, mulai yang tingkat ancamannya rendah, sedang maupun tinggi.