TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Memasuki tahun ketiga, pemerintahan Jokowi-JK justru disibukkan oleh suasana politik yang gaduh.
Di tengah tuntutan pembangunan ekonomi, pemerintah dipaksa merespon dinamika politik yang kian memanas.
Menguatnya politisasi identitas menuntut pemerintah bekerja keras untuk mengelola persaingan politik agar tidak menjadi konflik kekerasan.
Sebagai negara dengan populasi mayoritas Islam, isu Islam dan komunisme selalu menjadi bola panas.
Akhir-akhir ini isu kriminalisasi ulama, penganiayaan ulama dan kebangkitan komunisme menjadi alat menyudutkan Jokowi.
M. Imdadun Rahmat, Direktur Said Aqil Siroj Institute menyayangkan fabrikasi fitnah tersebut.
Baca: SAS Institute: Waspada Adu Domba Umat Beragama
Imdadun yang pernah menjabat sebagai Ketua Komnas HAM, memastikan bahwa kampanye hitam semacam itu merupakan residu politik musiman menjelang Pilkada dan Pilpres.
"Publik kan mulai mengerti pasca terbongkarnya jaringan Muslim Cyber Army (MCA). Ada kelompok penebar fitnah dengan mengatasnamakan Muslim. Ini perilaku tak terpuji, mencoreng wajah Islam" jelas Imdadun di Kantor SAS Institute kawasan Menteng, Jakarta, Selasa (6/3/2018).
Imdadun mengkaitkan kampanye hitam ini dengan disparitas antara kepuasan kerja Jokowi di angka 65%, sedangkan asumsi elektabilitas ada pada angka 45%.
Persepsi Jokowi anti Islam sangat merugikan pihaknya.
"Ini harus diatasi. Pak Jokowi mesti makin mendekat ke publik santri dan ulama. Selain itu, Jokowi harus tepat memilih calon kandidat wakilnya. Ini berkaitan dengan tiga aspek yakni konsolidasi pemilih muslim, penguatan sektor ekonomi dan stabilitas politik & keamanan hingga akhir pereode" tambah Imdadun.
Berdasarkan pengamatan Said Aqil Siroj Institute, ada lima nama yang tepat mendampingi Pak Jokowi dalam Pilpres 2019. Mereka berlatar belakang berbeda-beda.
Pertama Kyai Said Aqil Siroj.