TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Satu lagi warga negara Indonesia yang dihukum mati di luar negeri.
Muhammad Zaini Misrin, warga Desa Kebun, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur dieksekusi oleh pemerintah Arab Saudi, Minggu (18/3/2018) siang waktu setempat.
Eksekusi terhadap Zaini mendapat reaksi keras di Migrant Care.
Kementerian Luar (Kemlu) Negeri Republik Indonesia mengungkap, otoritas Kerajaan Saudi Arabia sama sekali tidak memberitahu mengenai eksekusi ini sebelumnya.
Direktur Migrant Care Wahyu Susilo mengungkap, Presiden Jokowi sudah 3 kali mengajukan permohonan pembebasan terhadap Zaini Misrin Arsyad.
Bahkan, Jokowi dua kali menyampaikan langsung ke Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud.
"Pengampunan (permohonan) juga dilakukan saat lawatan Presiden Jokowi ke Saudi Arabia bulan September 2015 dan juga saat kunjungan Raja Salman ke Indonesia pada bulan Maret 2017," ungkap Wahyu.
Baca: Tangisan Pilu Cucu Pertama Bagai Pertanda Zaini Dieksekusi Pancung
Selain menyampaikan langsung ke Raja Salman, Jokowi juga mengirimkan surat ke Kerajaan Arab Saudi.
Surat tersebut meminta TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi untuk dibebaskan.
Zaini dieksekusi hukuman pancung di Arab Saudi.
Zaini divonis hukuman mati atas tuduhan membunuh majikannya.
"Terakhir, bulan November 2017 Presiden Jokowi kembali mengirim surat permohonan pembebasan atas kasus Muhammad Zaini Misrin (dan kasus-kasus PRT migran yang terancam hukuman mati)," Wahyu menjelaskan.
Wahyu mengungkap, Zaini mendapatkan tekanan dari aparat Arab Saudi untuk mengakui kasus tersebut.
Hal ini terus terjadi hingga vonis mati dijatuhkan kepadanya pada 17 November 2008 lalu.
Dalam menghadapi proses hukum tersebut, Zaini hanya didampingi penerjemah asal Arab Saudi.
Ironis bagi Zaini, penerjemah tersebut juga ikut memaksanya mengakui kasus pembunuhan yang dituduhkan kepadanya.
Saat menggelar jumpa pers kemarin, beberapa organisasi masyarakat Serikat Buruh Migran Indonesia (SMBI), Jaringan Buruh Migran (JBM), Human Rights Working Group (HRWG), dan Komisi Migran KWI menyatakan, eksekusi terhadap Zaini Misrin adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Apalagi jika menurut Zaini Misrin bahwa dia dipaksa untuk mengakui melakukan pembunuhan setelah mengalami tekanan dan intimidasi dari otoritas Saudi Arabia.
Pada proses persidangan hingga dijatuhkan vonis hukam mati, Zaini Misrin juga tidak mendapatkan penerjemah yang netral dan imparsial.
Ada beberapa kejanggalan dalam proses eksekusi mati Zaini Misrin dan ketidakadilan hukum serta pengabaian pada prinsip-prinsip fair trial serta pengabaian pada hak-hak terdakwa.
Zaini Misrin sempat berkomunikasi dengan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah pada bulan November 2008 setelah divonis hukuman mati.
"Kami mengecam, mengutuk eksekusi hukuman mati terhadap Muhammad Zaini Misrin.
Eksekusi tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang paling dasar: yaitu hak atas hidup. Menuntut Pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan Nota Protes Diplomatik kepada Kerajaan Saudi Arabia dan mempersona non gratakan Duta Besar Kerajaan Saudi Arabia untuk Indonesia," Wahyu menegaskan.
Para organisasi pemerhati juga mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengerahkan sumber daya politik dan diplomasi untuk mengupayakan pembebasan ratusan buruh migran yang terancam hukuman mati di seluruh dunia dan melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati di indonesia sebagai komitmen moral menentang hukuman mati terhadap siapapun.
Meningkat
Kantor berita BBC melaporkan hukuman mati terhadap Zaini Misrin Arsyad menguatkan temuan bahwa Arab Saudi meningkatkan eksekusi mati sejak 2017.
Dalam laporannya, organisasi hak asasi manusia Reprieve mengatakan peningkatan eksekusi mati bertepatan dengan diangkatnya Pangeran Mohammed bin Salman sebagai putra mahkota pada Juni 2017.
"Hal ini kontras dengan serangkaian reformasi yang ditempuh di kerajaan dan terpampang sebagai tajuk utama media," sebut Reprieve.
Dr Kristian Coates Ulrichsen, peneliti Kebijakan Publik dar Rice University, mengatakan kepada BBC bahwa jumlah eksekusi di Arab Saudi sejatinya sudah meningkat drastis sejak 2015.
Pada akhir 2015 saja, lembaga Human Rights Watch melaporkan lebih dari 150 orang telah dieksekus di Arab Saudi—jumlah tertinggi yang dicatat lembaga tersebut selama 20 tahun terakhir.
"Penilaian saya tingginya jumlah eksekusi ini sebagian disebabkan keputusan pihak berwenang Saudi untuk melaksanakan vonis hukuman mati yang telah dijatuhkan namun belum diwujudkan pada masa kekuasaan Raja Abdullah. Sulit menentukan satu penyebab tertentu selama delapan bulan terakhir yang bisa menjelaskan mengapa ada lonjakan mendadak," ujarnya.
Data organisasi hak asasi manusia Reprieve menyebutkan terdapat 133 eksekusi di Arab Saudi pada periode Juli 2017 hingga 2018.
Jumlah itu hampir mencapai dua kali lipat jika dibandingkan dengan 67 eksekusi pada periode Oktober 2016 hingga Mei 2017.
Pada Juni 2017, yang bertepatan dengan Ramadan, Reprieve tidak menemukan laporan mengenai eksekusi mati.
Temuan Reprieve sedikit berbeda dengan data Human Rights Watch yang menyebutkan terdapat 138 eksekusi antara Juli 2017 dan Februari 2018.
Baik Reprieve maupun Human Rights Watch tidak mendapatkan data resmi dari pemerintah Arab Saudi yang sama sekali tidak menerbitkan jumlah eksekusi.
Alih-alih, kedua lembaga tersebut mengompilasinya dari laporan media di Saudi, seperti kantor berita Saudi (SPA). (tribun network/fir/yat/bbc)