TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penasihat hukum terdakwa pembunuhan berencana dan kepemilikan senjata api dr Ryan Helmi alias Helmy, Eko Novriansyah, mengungkapkan kondisi kejiwaan kliennya belum stabil karena permohonan penanganan medisnya ditolak penyidik.
Bahkan, penyidik menginformasikan dr Helmy pernah berupaya gantung diri di sel Rutan Cipinang tempatnya ditahan.
Baca: Sidang Dokter Penembak Mati Istri di Cawang, Terdakwa: Saya Nggak Kuat . . .
"Informasi dari penyidik, 'kan dia pernah mau gantung diri, mau cabut kuasa kami (pengacara)," ungkap Eko di sela mendampingi sidang dakwaan dr Helmy di PN Jaktim.
Sebagai informasi, dokter spesialis kecantikan itu dihadirkan ke pengadilan sebagagi terdakwa atas kasus penembakan yang mengakibatkan tewasnya sang istri, dr Letty Sultri, dr Letty Sultri di Klinik Utama Az-Zahra Medical Center di Jalan Dewi Sartika, Cawang, Kramat Jati, Jakarta Timur pada 9 November 2017.
Eko juga mengungkapkan Helmy akan terus menerus menanyakan suatu hal kepadanya jika penyakit obsesinya kumat.
Eko mencontohkan, ketika itu ia sempat bertengkar dengan Helmy karena Helmy terus menanyakan pemberitaan terhadap dirinya yang menurutnya salah seperti bahwa Helmy melakukam Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap istrinya, Lety Sultri.
"Misalkan sekarang dia lagi tidak nyaman dengan adanya (pemberitaan) seolah-olah KDRT, kalau dia ada KDRT. Yaudah itu setiap hari yang diomongin itu-itu aja 'apa sih kok dibilang KDRT' padahal kan kita nembak, nggak begitu. Pernah ribut ya waktu itu, tapi kok kesannya saya KDRT gini-gini. Itu terus yang ditanyain sampai kadang-kadang berantem," ungkap Eko.
Bahkan, Helmy juga pernah berkali-kali menelponnya terkait pernyataan seorang saksi dalam kasus kepemilikan senjata apinya yang bernama Soekarno.
"Karena kalo dia obsesinya itu dia tanya terus. Sama seperti senjata tadi. Waktu tadi dia saksi Soekarno salah menyebutkan itu dia kejar. Tiap hari 5-6 kali ditelfonin. Obsesinya dikejar terus," ungkap Helmy.
Menurut Eko, kejiwaan kliennya bisa terganggu jika memghadapi satu pemberitaan tentang dirinya yang ia anggap tidak benar.
Selain itu, Helmy juga akan cenderung lebih emosional jika mendapat informasi jadwal persidangannya. "Terutama ketika misalnya menghadapi satu pemberitaan, dia ngeliat televisi. Kemudian kalau mendapat informasi mau sidang seperti ini," ungkapnya.
Selain itu, selama di tahanan, Helmy juga sempat dimasukan ruang isolasi karena emosinya tersebut. Emosi Helmy biasanya akan reda dalam jangka waktu 30 menit. "Bentuknya seperti itu. Lost control. Tapi ya nggak lam kira-kira 30 menit. Kalo udah dikasih rokok, kopi nah dia mulai tenang," ujarnya.
Oleh karena itu, tim pengacara masih menganggap Helmy memiliki gangguan kejiwaan. Tim pengacara juga sempat berkonsultasi dengan beberapa psikolog yang pernah menangani gangguan kejiwaan Helmy. Beberapa psikiater itu akan dihadirkan dalam persidangan.
Eko membantah upaya menghadirkan psikiater dan rentetan peristiwa emosional itu bagian taktik agar Helmy bisa lolos dari proses persidangan. Menurutnya, itu sebatas untuk menunjukan fakta yang bisa menjadi pertimbangan majelis hakim.
Eko berharap agar kliennya bisa dirawat di rumah sakit kejiwaan dan bukan di dalam penjara. Ia mengaku pernah meminta penyidik agar Helmy dirawat dan dilakukan pemeriksaan kejiwaan sebagai pembanding hingga minta Helmy diberikan obat-obatan peredam gangguan kejiwaan. Namun, seluruh permintaan itu ditolak oleh penyidik.
Menurut Eko, ibunda dan adik kerap membesuk selama Helmy ditahan di Rutan Polda Metro Jaya dan di Ruta Cipinang. Namun, mereka tidak bisa datang ke persidangan perdana Helmy karena tinggal di luar kota. (Tribun Network/git/coz)