Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan aturan yang melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon legislatif (caleg) mendapat banyak dukungan dari pegiat antikorupsi.
Bila berhasil menurut Peneliti School of Transnational Governance European University Institute Erwin Natosmal Oemar, Indonesia bisa berhasil lolos dari korupsi politik dan keluar dari transisi demokrasi.
Baca: Wow! Rp 24 Miliar Buat Biaya Bos First Travel dan Keluarga Tur Keliling Eropa
"Itu adalah ide yang progresif dan perlu didukung. Pengalaman negara lain yang berhasil lolos dari korupsi politik dan keluar dari transisi demokrasi karena menerapkan hal yang serupa, seperti Taiwan dan Korea Selatan," ujar pegiat antikorupsi ini kepada Tribunnews.com, Senin (2/4/2018).
Pegetatan terhadap mantan koruptor menurutnya perlu juga diterapkan sejak dari putusan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).
"Itu diperlukan karena tidak ada aturan yang jelas dalam melarang koruptor untuk kembali ke politik," jelasnya.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendukung sepenuhnya rencana KPU menerbitkan aturan yang melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi Caleg.
Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah, menilai norma tersebut penting untuk mencegah seorang terpidana korupsi menduduki jabatan politik.
"Secara substansi, kami memandang norma tersebut penting," ujar Febri saat dikonfirmasi, Senin (2/4/2018).
Menurutnya, tidak pantas bagi seorang yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi langsung mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau calon legislatif.
KPK kerap menuntut seorang terdakwa perkara korupsi yang menduduki jabatan politik untuk dicabut hak politiknya.
"Karena itulah, untuk terdakwa kasus korupsi yang menduduki jabatan politik, KPK juga menuntut pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan," kata Febri.(*)