TRIBUNNEWS.COM - Terhitung mulai 1 Januari 2025, pemerintah akan memberlakukan tarif baru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Kenaikan ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Sejumlah pihak menilai keputusan PPN 12 persen per 1 Januari 2025 tidak diterapkan dalam waktu yang tepat karena kondisi perekonomian Indonesia yang belum membaik sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada inflasi, daya beli, masyarakat, serta pertumbuhan ekonomi.
Terkait hal ini, Analis Kebijakan Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rahadian Zulfadin menjelaskan bahwa di tengah berbagai tantangan global yang kompleks dan beragam di sepanjang tahun 2024, perekonomian Indonesia relatif stabil.
“Dari sisi domestik, kita melihat bahwa sebetulnya ekonomi kita itu relatif stabil. Pertama, dari sisi makro ekonomi, kita tahu pandemi adalah krisis yang sangat besar, tetapi kita bisa pulih dan stabil tumbuh di angka 5 persen. Kedua, inflasi kita bisa dijaga di level yang cukup rendah, di bawah 2%,” ujar Rahadian dalam sebuah keterangan pers yang dikutip dari situs Media Keuangan.
Lebih rinci, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Kacaribu dalam keterangan tertulis, Sabtu (21/12/2024) mengungkapkan bahwa berdasarkan hitungan pemerintah, inflasi saat ini terhitung masih rendah, yaitu di angka 1,6 persen.
Sementara itu, naiknya PPN menjadi 12 persen diperkirakan membuat inflasi meningkat 0,2 persen. Namun, peningkatan ini akan tetap dijaga sesuai target APBN dan masih dalam sasaran inflasi BI sebesar 1,5-3,5 persen.
Baca juga: PPN 12 Persen Berlaku 2025 dengan Skema Multitarif, UU HPP jadi Dasar Kebijakan
Menurut Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, kenaikan harga akibat PPN 12 persen cenderung tidak berdampak signifikan terhadap daya beli mayoritas masyarakat karena insentif pemerintah seperti subsidi bahan pokok, bantuan sosial (bansos), dan pengurangan pajak bagi UMKM tetap diberikan.
Selain itu, inflasi inti diproyeksikan tetap rendah karena pengendalian harga bahan pangan dan barang strategis, serta kebijakan fiskal yang mendukung daya beli.
Kepada Tribunnews, Selasa (24/12/2024), Josua menjelaskan, terdapat beberapa faktor yang berperan terhadap rendahnya kondisi inflasi Indonesia meskipun diterapkan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen.
Pertama, kenaikan tarif PPN sebagian besar difokuskan pada barang dan jasa yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat menengah ke atas, termasuk barang mewah seperti beras premium, daging wagyu, dan layanan pendidikan premium.
“Sementara itu, barang kebutuhan pokok seperti beras biasa, gula, dan susu segar tetap dibebaskan dari PPN, sehingga dampak terhadap inflasi konsumsi rumah tangga yang lebih luas tetap minimal,” ungkapnya.
Faktor ketiga, yaitu inflasi volatile food mengalami penurunan akibat stabilisasi harga pangan, yang juga didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah untuk menjaga suplai dan subsidi pangan. Hal ini mengimbangi potensi tekanan inflasi akibat kenaikan PPN.
Keempat, struktur PPN yang baru, termasuk pembebasan dan insentif yang selektif, dirancang untuk mengurangi beban langsung pada kelompok masyarakat rentan.
Josua mencontohkan bahwa barang-barang yang sangat diperlukan seperti air bersih dan listrik dengan daya tertentu tetap bebas PPN sehingga memastikan bahwa dampak kenaikan tarif PPN pada inflasi inti tetap terkendali.
“Kebijakan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% dianggap sebagai langkah yang strategis namun penuh tantangan. Kenaikan PPN ini bertujuan untuk memperkuat fiscal space guna mendukung keberlanjutan pertumbuhan ekonomi jangka panjang,” pungkasnya.
Baca juga: Mengapa PPN dan Bukan Pajak Lain? Pengamat Beberkan Dasar Kebijakan Kenaikan Tarif Pajak