TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setya Novanto membacakan pledoi atau nota pembelaan dalam sidang lanjutan kasus korupsi KTP elektronik (E KTP) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (13/5/2018).
Dalam nota pembelaannya Setya Novanto menjelaskan sejumlah hal terkait kasus yang melilitnya.
Bukan hanya itu, mantan Ketua DPR RI tersebut pun bercerita tetang kisah hidupnya dalam pledoi yang dibacakannya langsung.
Tribunnews.com merangkum sejumlah hal menarik dalam pledoi yang dibacakan Setya Novanto.
Kisah hidup
Dalam pledoinya Setya Novanto menceritakan bagaimana kehidupannya dimulai dari nol hingga bisa menduduki Ketua DPR RI.
Baca: Mayat Pria Tanpa Identitas Dalam Keadaan Membusuk Ditemukan Mengambang di Kali Ciliwung
Setya Novanto mengaku bukan keturunan konglomerat.
Sehingga sejumlah pekerjaan kasar harus dilakoninya demi bertahan hidup.
Termasuk ketika harus pindah ke Surabaya, Jawa Timur untuk melanjutkan pendidikan.
Disana Setya Novanto mengaku mencoba bertahan hidup dengan berjualan beras dan madu, menjadi model, sales mobil, hingga menjadi kepala penjualan mobil di seluruh Indonesia timur.
Baca: Nadia Mulya Sebut Boediono Alergi Saat Ayahnya Menyandang Status Tersangka
"Saya bukan keturunan konglomerat atau kaya. Saya lahir dari keluarga kurang mampu. Tapi saya punya cita-cita untuk turut membangun dan berkontribusi pada negara," kata Setya Novanto.
Selain itu, Setya Novanto juga rela mengabdi jadi pembantu yang bertugas mencuci dan mengepel, termasuk jadi sopir, bangun pagi untuk antar sekolah anak-anak demi melanjutkan kuliahnya.
"Bangun pagi untuk antar sekolan anak-anak, semua saya lakukan untuk melanjutkan kuliah saya," tutur Setya Novanto.
Setya Novanto pun mengaku selain kerja keras, kehidupannya banyak dibantu para petinggi Golkar hingga menduduki jabatan Ketua DPR RI .
Baca: Cerita Keluarganya Hancur, Nadia Mulya Enggan Beberkan Keterlibatan Pihak Lain Dalam Kasus Century
"Ternyata karunia Allah sungguh sangat besar, bahwa di balik kesulitan ada kemudahan, berkat kerja keras, untuk wujudkan cita-cita saya mengabdi untuk negara ini. Menjadi Ketua DPR," ucapnya.
Ia sengaja bercerita tetang kehidupannya dalam nota pembelaan bukan untuk mendapat belas kasihan.
Tapi, kisah hidupnya sengaja diceritakan dalam persidangan guna mengimbangi pandangan masyarakat terhadap dirinya.
"Saya terpaksa, bukan pamrih membacakan (pleidoi) ini. Saya ingin masyarakat melihat cahaya di tengah-tengah gelapnya, saya ingin mengimbangi pemberitaan atau kabar yang beredar di luar, sudi kiranya dapat mengurangi celaan, cacian yang kejam itu," katanya.
Merasa dijebak
Setya Novanto pun dalam pledoinya menyesali ikut dalam pertemuan di Grand Melia, Kuningan, Jakarta Selatan yang menjadi pangkal keterlibatannya dalam proyek e-KTP.
Menurutnya, jika dirinya tidak bersedia ditemui Andi Agustinus, Irman, dan Diah Anggraeni di Hotel Grand Melia, mungkin ia tidak akan pernah terlibat jauh dalam e-KTP yang kini menyeretnya hingga kursi pesakitan.
Selain itu, Setya Novanto juga mengaku bukan inisiator pertemuan untuk menggolkan anggaran proyek e-KTP pada Kementerian Dalam Negeri dengan sejumlah pihak di Hotel Grand Melia, Kuningan, Jakarta Selatan.
Baca: Fakta Menarik Di Balik Pembunuhan Purnawirawan TNI AL: Asal Usul Pelaku Hingga Kronologi Penangkapan
"Saya tidak pernah menjadi inisiator pertemuan di atas (Hotel Grand Melia) yang akhirnya menyeret saya terlibat jauh dalam kasus e-KTP," katanya.
Setya Novanto juga membenarkan sempat ditemui pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong bersama dua pejabat Kemendagri saat itu, yakni Irman dan Diah Anggraeni.
"Pada pertemuan ini juga pertama kalinya saya kenal Irman yang pada pokoknya minta dukungan dalam proses pembahasan e-KTP di Komisi II DPR," ujarnya.
Menurut Setya Novanto, pertemuan itu merupakan ketidakhati-hatiannya dirinya sehingga menyeretnya lebih jauh ke dalam proyek pengadaan e-KTP.
Setelah pertemuan di Hotel Grand Melia, Setya Novanto mengaku sempat ditemui Irman, Andi Narogong, dan beberapa pengusaha di antaranya dari Biomorf, Johannes Marliem.
Namun, Novanto mengklaim tidak menindaklanjuti hasil pertemuan tersebut.
Terakhir, Setya Novanto juga menyampaikan jika melihat fakta persidangan dari awal, dia merasa telah dijebak oleh Johannes Marliem.
"Johannes Merliem dengan maksud tertentu telah dengan sengaja menjebak saya dengan merekam pembicaraan pada setiap pertemuan dengan saya," singkatnya.
Jam tangan mewah
Selain pertemuan di Grand Melia, Setya Novanto pun menjelaskan soal jam tangan mewah merk Richard Mille seharga 1,3 miliar yang diterimanya dari Direktur Biomorf Lone LCC, almarhum Johanes Marliem yang dititipkan melalui Andi Narogong.
Atas penerimaan itu, dalam surat tuntutan, Jaksa KPK meminta agar uang Rp 1,3 miliar untuk membeli jam tangan dikembalikan ke KPK, karena itu ada kaitan dengan aliran e-KTP.
"Soal pemberian jam tangan Richard Mille, dimana oleh jaksa saya diminta mengembalikan uang pengganti Rp 1,3 miliar. Sebagaimana fakta sidang, saat saya diperiksa sebagai terdakwa. Saya memang tidak membantah menerima jam," tutur Novanto.
Dari persidangan juga terungkap, jam tangan tersebut sudah dikembalikan ke Andi Narogong pada Desember 2016 saat ada acara di rumah Setya Novanto.
Lanjut oleh Andi Narogong, jam tersebut dijual ke sebuah toko jam di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
Uang hasil penjualan, lantas dibagi dua.
"Jaksa harus pertimbangkan keterangan Andi yang telah menjual jam di Blok M. Jam dijual seharga Rp 1 miliar 50 juta. Hasilnya Rp 650 juta untuk Andi dan 350 juta untuk Johanes Marliem melalui Raul. Dengan demikian tidak relevan apabila saya harus menanggung sementara jam sudah saya kembalikan dan dijual oleh Andi," katanya.
Puisi dari sang sahabat
Setya Novanto membacakan sebuah puisi yang ditulis sahabatnya berjudul 'Di Kolong Meja'
Puisi yang terdiri dari tujuh bait tersebut dibuat khusus sahabat Setya Novanto, Linda Djalil.
"Itu puisi di kolong meja, dibuat oleh sahabat Pak Setya Novanto, Linda Djalil. Beliau wartawan, penulis. Puisi dibuat tiga hari sebelum sidang," ujar kuasa hukum Setya Novanto, Firman Wijaya.
Berikut puisi yang dibacakan Setya Novanto
Di Kolong Meja
Di kolong meja ada debu
yang belum tersapu
karena pembantu sering pura pura tak tahu
Di kolong meja ada biangnya debu
yang memang sengaja tak disapu
bersembunyi berlama-lama
karena takut dakwaan seru
melintas membebani bahu
Di kolong meja tersimpan cerita
seorang anak manusia menggapai hidup
gigih dari hari ke hari
meraih ilmu dalam keterbatasan
untuk cita-cita kelak yang bukan semu
tanpa lelah dan malu
bersama debu menghirup udara kelabu
Di kolong meja muncul cerita sukses anak manusia
yang semula bersahaja
akhirnya bisa diikuti siapa saja
karena cerdas caranya bekerja
Di kolong meja ada lantai yg mulus tanpa cela
ada pula yg terjal bergelombang
siap menganga
menghadang segala cita-cita
apabila ada kesalahan membahana
kolong meja siap membelah
menerkam tanpa bertanya
bahwa sesungguhnya ada berbagai sosok yg sepatutnya jadi sasaran
Di kolong meja
ada pecundang
yang bersembunyi
sembari cuci tangan
cuci kaki
cuci muka
cuci warisan kesalahan
Apakah mereka akan senantiasa di sana
dengan mental banci berlumur keringat ketakutan
dan sesekali terbahak melihat teman sebagai korban menjadi tontonan ??
(theresia felisiani/ Tribunnews.com)